Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Cerpen | Takjil untuk Bapak

8 Juni 2018   06:32 Diperbarui: 8 Juni 2018   08:28 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.shutterstock.com

Ramadan hari ke-17

Aku memasak sup ayam kesukaan Bapak. Lalu mengemasnya ke dalam rantang plastik berwarna hijau yang bersusun dua. Sedikit nasi aku tambahkan di dalam rantang paling atas.

Sudah, itu saja.

Kemudian dengan langkah terburu aku mengantar makanan itu menuju tempat tinggal Bapak yang sekarang.

Seperti biasa, yang menerima kiriman makanan bukan Bapak sendiri. Aku harus menitipkannya kepada petugas yang berjaga sore itu.

"Untuk Pak Rusdi," aku berkata singkat. Petugas berseragam itu mengangguk. Lalu tanpa bertanya-tanya ia segera menuju meja kecil di sudut ruangan. Diletakkannya rantang plastik dariku di sana. Lalu dengan hati-hati memeriksa isinya untuk memastikan bahwa makanan yang kukirim untuk Bapak sore itu aman.

"Terima kasih, boleh saya pergi?" aku mengangguk hormat ke arah petugas berseragam itu.

Petugas itu tidak menyahut. Hanya memberi tanda dengan mengangkat satu tangannya. Yang artinya aku diizinkan pergi.

Ramadan hari ke-18

Hari ini aku memasak sayur bayam kesukaan Bapak. Dua buah iris tempe kuletakkan di atas nasi yang hanya sejumput. Ya, hanya sejumput. Bapak memang tidak mengonsumsi nasi terlalu banyak. Aku tahu itu.

Kembali petugas berseragam yang menerimaku. Masih orang yang sama.

"Ada pesan dari Pak Rusdi?" aku bertanya pelan. Petugas berseragam itu mengernyit alis. Lalu mengangguk.

"Ia bilang supnya yang kemarin enak sekali. Sudah itu saja.'

"Hanya itu? Baiklah. Terima kasih."

Seperti kemarin dan kemarinnya lagi aku menunggu petugas berseragam itu memeriksa kiriman makananku.

"Aman. Kau boleh pergi."

Ramadan hari ke-19

Sudah kusiapkan menu berbuka kesukaan Bapak untuk sore ini. Pepes ikan tengiri. Tidak terlalu pedas. Hanya berbumbu kunyit dan kemiri. Dan beberapa petik daun kemangi kuletakkan di atas potongan kepala ikan sebelum kubungkus dengan daun pisang.

Kali ini rantang tidak berisi nasi. Melalui petugas berseragam itu Bapak meminta agar aku membawakannya seiris singkong rebus saja.

Usai mengemas makanan ke dalam rantang plastik yang warnanya mulai memudar, aku mengendap-endap pergi menuju tempat Bapak. Aku berharap Mas Herman tidak segera pulang. Atau Ibu mertuaku yang sedang beristirahat di kamarnya tidak cepat terbangun.

Kali ini petugas berseragam tidak lagi memeriksa kiriman makananku. Sepertinya ia mulai menaruh kepercayaan terhadapku.

"Apakah Bapak saya boleh merokok di dalam ruangan? Maksud saya saat ia berbuka nanti," aku bertanya hati-hati. Petugas berseragam itu menatapku sejenak. Tapi kemudian ia menggeleng.

"Kukira Ayahmu sudah terlalu tua untuk mengonsumsi sigaret. Kami melarang demi kesehatannya,"

"Oh, baiklah. Terima kasih."

Ramadan hari ke-20

Hari ini aku bingung. Persediaan bahan makanan di rumah sudah habis. Padahal aku harus segera memasak makanan untuk Bapak.

Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bukankah aku masih memiliki sedikit uang simpanan? Uang  yang sedianya untuk persiapan melahirkan nanti.

Ya, aku memang tengah hamil tua. Usia kandunganku sudah memasuki minggu ke-32.

Waktu cepat sekali bergulir. Aku harus segera mengambil keputusan. Kukira persoalan mengirimi makanan untuk Bapak jauh lebih mendesak.

Maka bergegas aku meraih uang tabunganku, pergi ke warung sebelah dan membeli bahan makanan yang kuperlukan.

"Kau masak banyak sekali hari, ini, Tri," suara Ibu mertua mengagetkanku. Aku tidak menyahut. Tapi Ibu mertua terus mendesakku. "Untuk apa kau masak sebanyak ini?"

"Sekalian untuk persiapan sahur nanti, Bu," ujarku berbohong. Ibu mertuaku terdiam.

Dan sebelum waktu Magrib tiba, aku sudah tiba di tempat Bapak.

Kali ini petugas lain yang menerimaku.

"Makanan untuk Pak Rusdi," aku berkata lirih.

"Oh, laki-laki tua? Sepertinya ia sedang sakit. Makanan yang kemarin sama sekali tidak disentuhnya, masih utuh."

Aku terhenyak. Keringat dingin mulai membasahi keningku.

"Boleh saya menjenguk Bapak saya? Barangkali saya bisa menyuapinya barang sesendok dua sendok," aku berkata gemetar.

Penjaga berseragam itu diam beberapa saat. Tapi kemudian berkata, "Untuk sementara ia tidak boleh dijenguk. Kami sudah menanganinya. Ada tim dokter yang merawatnya."

Aku menarik napas lega. Lalu mengulurkan rantang di tanganku.

"Barangkali Bapak saya sudah baikan dan mau sedikit makan," kataku sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Ramadan hari ke-21

Sore ini aku tidak bisa pergi menjenguk Bapak. Sebab ada Mas Herman yang sedang cuti. Dan Ibu mertua yang sedari siang tidak beristirahat di kamarnya.

Kami bertiga duduk bersantai di ruang tengah. Mas Herman membuka pecakapan.

"Kian merajalela saja tindak kejahatan akhir-akhir ini. Meski gembong narkoba itu sudah ditangkap, di luar anak buahnya masih ganas beraksi."

"Harus dibuat jera mereka itu," Ibu mertua menyela seraya meletakkan benang rajutan di tangannya.

"Hukuman mati tidak membuat nyali mereka ikut mati," Mas Herman meraih pundakku. Menidurkan kepalaku di atas dadanya.

"Masak apa untuk berbuka hari ini, Tri?" ia mengalihkan pembicaraan.

"Ayam kecap kesukaanmu, Mas," aku menyahut pelan. 

Bukan. Sebenarnya bukan makanan kesukaan Mas Herman. Tapi kesukaan Bapak.

"Kita makan di luar saja, ya. Kecap mengingatkanku pada darah kental pria tua itu," Mas Herman meraih tisu di atas meja. Menyeka keringat yang mendadak membasahi keningnya.

"Kau sudah mengeksekusinya, Mas?" aku menggigil. Mas Herman mengangguk.

"Kapan?"

"Menjelang Subuh tadi."

***

Malang, 08 Juni 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun