Ya, Abah memanggil pemuda itu Bilal. Entah siapa nama sesungguhnya.
Bilal menempati kamar kecil yang berada tepat di samping kiri surau. Ia dipercaya oleh Abah sebagai marbot. Diserahi kunci sekaligus diberi wewenang membenahi surau yang sudah lama tidak dipergunakan.Â
Di hari pertama yang dia lakukan adalah mengeluarkan semua tikar dan sajadah. Dijemurnya benda-benda itu di depan surau. Lalu mengecat dinding ruangan yang semula berwarna abu-abu menjadi putih bersih.Â
Setelah menyapu dan membersihkan debu yang melekat pada kitab-kitab tua termasuk Kitab Suci Al Quran, ia mengganti lampu ruangan dengan bohlam berukuran besar yang sinarnya jauh lebih terang dari lampu sebelumnya.
Di hari-hari berikutnya ia membenahi kusen. Sebagian ditambalnya dengan semen. Sebagian lagi yang tidak tertolong ia ganti dengan ruas kayu yang menumpuk di samping surau.
Dalam kurun waktu satu minggu, wajah surau sudah berubah total. Bersih, rapi dan menyenangkan.
Jelang sore hari, di mana untuk pertama kali surau bisa ditempati, kami melaksanakan Sholat Asar berjamaah. Abah menjadi Imam. Sementara aku dan Bilal menjadi makmum. Tentu saja tempat kami terpisah. Ada sekat terbuat dari kain gorden berwarna putih yang membatasi kami.
Oh, ya. Abah juga meminta Bilal untuk memasang kembali  loudspeaker yang sudah lama tidak terpakai, yang beberapa kabelnya sudah putus digerogoti tikus.
Anehnya, lagi-lagi di tangan Bilal benda itu bisa dipergunakan lagi.
Suatu Subuh aku terbangun dari tidur lelapku. Suara azan terdengar merdu mengalun dari surau. Itu pasti suara pemuda asing itu. Sungguh, Abah tidak salah memanggilnya Bilal. Ia memang memiliki suara yang sangat indah seperti kisah muazin di zaman Rasulullah.
Tidak ingin tertinggal sholat berjamaah, gegas aku beranjak dari tempat tidur. Meraih hijabku yang tercecer di atas meja. Lalu berjalan tergesa menuju pancuran untuk mengambil air wudhu.