Baru saja hendak melangkah memasuki pintu teras surau, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara hiruk pikuk. Serombongan orang datang berbondong-bondong ingin masuk ke dalam surau.
"Sungguh aneh. Tiba-tiba saja terdengar suara azan dari sini. Dan surau tua ini... wow, terang benderang. Entah siapa yang telah berbaik hati membenahinya," salah seorang dari mereka berseru kagum.
Aku menghentikan langkah. Menatap bingung ke arah orang-orang kampung itu.
Sampai Abah menyentuh pundakku.
"Lis, kau lupa menceritakan siapa diri kita."
Oh, ya, Abah benar.
Aku baru tersadar. Sejak awal aku lupa menceritakan siapa sesungguhnya diri kami. Sebab aku terlalu fokus pada kehadiran pemuda asing yang mengaku dirinya sebagai musafir itu.
Baiklah. Kuperkenalkan. Namaku Lilis. Aku dan Abah sebenarnya sudah mati. Kami menjadi korban ledakan bom beberapa tahun silam yang dilakukan oleh seorang pemuda tak dikenal. Tubuh dan rumah kami hancur lebur. Satu-satunya yang terselamatkan hanya surau tua itu.
Dan yang mengajak Abah bercakap-cakap di awal-awal kisah ini, mereka adalah para korban yang senasib dengan kami.
Tentang pemuda tampan yang kami panggil dengan nama Bilal itu, entah siapa dia.Â
Yang pasti ketika orang-orang kampung datang berbondong-bondong hendak melaksanakan Sholat Subuh, ia mendadak raib entah ke mana.
***
Malang, 06 Juni 2018
Lilik Fatimah Azzahra