Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tali Sepatu Ayah

5 Maret 2018   07:12 Diperbarui: 5 Maret 2018   07:13 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang kemandirian Ayah, hal ini berlangsung hingga beberapa hari ke depan. Tentu saja aku senang sebab usahaku tidak sia-sia. Ibu telah mendapatkankan kembali haknya sebagai perempuan yang merdeka. Inilah yang kumaksud dengan kesetaraan gender itu. Di mana perempuan berdiri sama tinggiduduk sama rendah di samping laki-laki, sekalipun laki-laki itu adalah suaminya sendiri.

Tapi ada yang membuatku heran. Wajah Ibu. Seharusnya ia tampak lebih gembira karena telah mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan. Tapi ternyata tidak. Ibu malah berubah murung. Tidak seceria hari-hari sebelumnya. Ibu lebih banyak diam dan termenung. Dan itu berpengaruh pada suasana rumah. Rumah jadi sepi, hening tak lagi ramai oleh celotehnya. 

Ibu juga tidak lagi mengantar kami hingga di pintu pagar. Ibu hanya berdiri di ambang pintu saat kami pamit pergi. Ibu melepas kepergian kami begitu saja. Tanpa senyum. Dan sebelum mobil yang dikemudikan Ayah meninggalkan halaman kulihat Ibu sudah masuk kembali ke ruang dalam, tanpa berpesan apa-apa.

"Habiskan sarapanmu, Rin," pagi itu Ayah yang menegurku. Bukan Ibu. 

Tiba-tiba saja aku merasa sedih. Merasa ada sesuatu yang hilang. Suara Ayah, meski ramah, tapi tidak selembut suara Ibu. Aku merindukan suara Ibu yang cerewet seperti induk kutilang yang menyuapi anaknya di pagi hari, di atas reranting pohon.

"Oh, Ayah! Lihatlah! Tali sepatumu. Ikatannya panjang sebelah!" aku sengaja berseru lantang. Ayah yang sudah siap meraih tas kerjanya buru-buru menatap ke arah bawah. Ia kemudian membungkuk siap membetulkan tali sepatunya.

Tiba-tiba kulihat Ibu merandek maju, mendahului Ayah. Ia berjongkok di depan kaki Ayah. Lalu jemarinya yang lembut terampil melepas simpul tali sepatu yang berantakan.

"Kalau kau berniat menolak bantuanku, kau ganti saja sepatu butut ini. Maksudku---membeli sepatu baru yang lebih praktis tanpa tali," Ibu mengomel seraya menengadahkan wajah. Menatap Ayah dengan seulas senyum.

"Itu yang tidak bisa kulakukan," Ayah menjawab pelan. Membalas mesra senyum Ibu.

Aku tertegun. Sekaligus terharu. Ada sesuatu yang hangat menjalari relung hatiku. 

Keceriaan rumahku telah kembali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun