Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tali Sepatu Ayah

5 Maret 2018   07:12 Diperbarui: 5 Maret 2018   07:13 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : www.shutterstock.com

Aku sering melihat Ibu melakukan ini; mengikat tali sepatu Ayah sebelum Ayah berangkat ke kantor. Dan Ayah membiarkannya. Ia sama sekali tidak menolak, atau sekadar bilang, "ini pekerjaan ringan, sayang, aku bisa mengerjakannya sendiri."

Tidak itu saja, usai tali sepatu terjalin rapi, Ibu akan membantu memasangkan dasi pada kerah kemeja Ayah. Lagi-lagi Ayah membiarkannya. Padahal menurutku, kalau mau Ayah bisa melakukannya sendiri tanpa harus merepotkan Ibu. Tidak sulit. Jika hanya melilitkan dasi lalu membentuk simpul sedemikian rupa, kukira Ayah mampu mengerjakannya sendiri. Bukankah dulu saat masih duduk di bangku sekolah pernah diajarkan keterampilan seperti itu? Kalau pun sekarang Ayah sangat tergantung dan selalu mengandalkan bantuan Ibu, kupikir ada dua kemungkinan. Pertama, Ayah itu manja dan kedua ia pemalas.

"Rin. Habiskan sarapanmu. Jangan makan sambil melamun," Ibu menegurku. Agak tergesa aku menyuapkan nasi ke dalam mulutku, karena kulihat Ayah sudah rapi dan bersiap-siap meraih kunci mobil yang---lagi-lagi berada di tangan Ibu.

"Hati-hati di jalan," Ibu mengantar kami hingga di pintu pagar. 

Sepanjang perjalanan menuju sekolah kulihat Ayah duduk di belakang kemudi dengan wajah bahagia. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Sudah waktunya aku menegur Ayah. Menyampaikan uneg-uneg yang selama ini kupendam.

"Ini perihal Ibu, Ayah. Soal kesetaraan gender," aku mulai membuka percakapan.

"Ada apa dengan Ibumu?" Ayah menyahut tenang. Ekspresinya tidak berubah. Pandangannya tetap lurus ke arah depan. 

"Ibu berhak mendapatkan perlakuan yang layak. Kukira selama ini ia menjalani kehidupannya tidak seimbang."

"Apakah Ibumu mengeluhkan sesuatu?" Ayah mengurangi sedikit kecepatan mobil. Dari jauh lampu merah terlihat berkedap-kedip.

"Ibu tidak pernah mengeluhkan apa pun. Tapi aku melihat ketidakadilan setiap pagi terjadi di depan mataku," aku berkata dengan nada serius. 

Ayah benar-benar menghentikan mobilnya. Ikut mematuhi rambu lalu lintas seperti pengguna jalan yang lain.

"Oh, ya? Ketidakadilan yang mana yang kau maksud?" kali ini Ayah menyempatkan diri menoleh ke arahku.

"Ibu terlalu memanjakan Ayah. Dan Ayah---menikmatinya."

"Oh, apakah salah satunya tentang memasang tali sepatu itu?" Ayah menegaskan. Aku mengangguk.

Ayah tersenyum. Aku lega melihatnya. Kukira Ayah sudah mengerti apa yang kumaksudkan. 

"Baiklah. Mulai besok aku akan melarang Ibumu melakukan hal-hal yang bisa kukerjakan sendiri."

***

Esoknya aku melihat Ayah benar-benar menepati janjinya. Ia menolak dengan halus ketika tangan Ibu terulur siap mengikatkan tali sepatunya. Begitu juga ketika Ibu bermaksud membantunya memasangkan dasi.

"Terima kasih, sayang. Tapi aku bisa melakukannya sendiri," tangan Ayah menampik jemari Ibu. Ibu tampak tertegun. Lalu ia berkata gugup, "Oh, iya, tentu saja, aku tahu." 

Pagi itu banyak sekali kutemukan perubahan. Ayah yang semula manja dan cenderung kekanak-kanakan, berubah menjadi laki-laki mandiri. Ayah menyenduk sendiri nasi dari dalam  magic com  ke atas piring sarapannya. Lalu sigap menuang kopi ke dalam cangkirnya. Ia juga meraih kunci mobil yang tercantel di tembok kamar tanpa menunggu Ibu yang mengambilkannya. 

Aku kagum. Ayah telah berhasil mengurus dan melayani dirinya sendiri dengan baik.

Tentang kemandirian Ayah, hal ini berlangsung hingga beberapa hari ke depan. Tentu saja aku senang sebab usahaku tidak sia-sia. Ibu telah mendapatkankan kembali haknya sebagai perempuan yang merdeka. Inilah yang kumaksud dengan kesetaraan gender itu. Di mana perempuan berdiri sama tinggiduduk sama rendah di samping laki-laki, sekalipun laki-laki itu adalah suaminya sendiri.

Tapi ada yang membuatku heran. Wajah Ibu. Seharusnya ia tampak lebih gembira karena telah mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan. Tapi ternyata tidak. Ibu malah berubah murung. Tidak seceria hari-hari sebelumnya. Ibu lebih banyak diam dan termenung. Dan itu berpengaruh pada suasana rumah. Rumah jadi sepi, hening tak lagi ramai oleh celotehnya. 

Ibu juga tidak lagi mengantar kami hingga di pintu pagar. Ibu hanya berdiri di ambang pintu saat kami pamit pergi. Ibu melepas kepergian kami begitu saja. Tanpa senyum. Dan sebelum mobil yang dikemudikan Ayah meninggalkan halaman kulihat Ibu sudah masuk kembali ke ruang dalam, tanpa berpesan apa-apa.

"Habiskan sarapanmu, Rin," pagi itu Ayah yang menegurku. Bukan Ibu. 

Tiba-tiba saja aku merasa sedih. Merasa ada sesuatu yang hilang. Suara Ayah, meski ramah, tapi tidak selembut suara Ibu. Aku merindukan suara Ibu yang cerewet seperti induk kutilang yang menyuapi anaknya di pagi hari, di atas reranting pohon.

"Oh, Ayah! Lihatlah! Tali sepatumu. Ikatannya panjang sebelah!" aku sengaja berseru lantang. Ayah yang sudah siap meraih tas kerjanya buru-buru menatap ke arah bawah. Ia kemudian membungkuk siap membetulkan tali sepatunya.

Tiba-tiba kulihat Ibu merandek maju, mendahului Ayah. Ia berjongkok di depan kaki Ayah. Lalu jemarinya yang lembut terampil melepas simpul tali sepatu yang berantakan.

"Kalau kau berniat menolak bantuanku, kau ganti saja sepatu butut ini. Maksudku---membeli sepatu baru yang lebih praktis tanpa tali," Ibu mengomel seraya menengadahkan wajah. Menatap Ayah dengan seulas senyum.

"Itu yang tidak bisa kulakukan," Ayah menjawab pelan. Membalas mesra senyum Ibu.

Aku tertegun. Sekaligus terharu. Ada sesuatu yang hangat menjalari relung hatiku. 

Keceriaan rumahku telah kembali. 

Pagi itu aku melihat matahari bersinar indah di kedua mata Ayah dan Ibu.

Ah, ternyata selama ini aku keliru menafsirkan. Kupikir kesetaraan gender membuat orang-orang dewasa---suami istri, akan hidup bahagia. Ternyata tidak. 

Ternyata cinta dan kasih sayanglah yang membuat mereka merasa bahagia. 

Di hari- hari selanjutnya, aku sama sekali tidak mempermasalahkan. Meski Ibu berlama-lama membantu mengikatkan tali sepatu Ayah. Dan meski itu berarti membuatku beberapa kali terlambat masuk sekolah.

***

Malang, 05 Maret 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun