Sesekali ia menyeka airmatanya seraya melirik sekilas seperangkat pakaian tari yang teronggok di ujung  amben. Sementara Wak Dun sudah mengatupkan resleting celananya.
Di luar malam sendiri. Tak ada bulan.
"Kalau aku hamil bagaimana?" ia menatap lelaki setengah umur yang siap-siap pergi meninggalkannya. Â Tiba-tiba saja kerongkongannya terasa kering dan lehernya seperti tercekik. Ia meraih sebotol air mineral di atas meja.Â
"Kau bisa mengantisipasinya dengan minum jamu, pil atau apalah. Tanyakan saja pada Mama pemilik losmen ini. Aku akan memberimu uang."
Ia terdiam. Uang? Mendadak perutnya mual dan ingin muntah.
"Kenapa? Bukankah selama ini kau butuh uang?" Wak Dun menyelipkan sejumlah uang di balik kutangnya.
"Tidak Wak. Aku tidak butuh uang." Ia nyaris mengatakan itu. Tapi urung. Ia memilih diam. Membuang pandang jauh ke luar jendela.
Malam masih gulita. Mewakili perasaannya.
***
Ia menceritakan banyak hal padaku. Tentang keperawanannya yang sudah terenggut oleh Wak Dun---laki-laki yang seharusnya melindunginya. Ya, Wak Dun adalah ketua seni kuda lumping atau yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Jathilan. Masih menurutnya, Wak Dun pula yang meminta ia untuk bergabumg dalam kelompok seni tari tradisional itu..
"Sebagai kembangan," ia menirukan ucapan Wak Dun kala itu.
Ia bercerita lagi, dengan suara bergetar, bagaimana Wak Dun telah menjebaknya. Membawanya ke suatu tempat---semacam losmen kecil ketika para anggota Jathilan yang lain sedang menggelar pertunjukan untuk bebersih desa.Â
"Mengapa kau tidak berusaha menolaknya?" aku menyesalkan tindakannya seraya menyodorkan secangkir kopi. Ia terdiam. Jemarinya menangkup pinggang cangkir dan memutar-mutarnya perlahan di atas meja.
"Ia laki-laki yang kuat. Sangat kuat. Meski sudah setengah umur," ia berkata pelan.
"Kau tidak ingin melaporkannya kepada polisi?" aku masih belum puas dengan jawaban yang diberikannya.
"Dengan bukti apa? Aku tidak menyimpan bukti apapun. Satu-satunya bukti bercak darah pada celana dalamku sudah kubuang ke dalam tong sampah."
"Kau seharusnya tidak membuangnya. Itu bisa menjadi senjatamu menyeret lelaki hidung belang tak tahu diri itu," aku menyesali kecerobohannya.
"Kau kira mudah memidanakan seorang Wak Dun? Ia punya banyak uang. Tentu orang-orang lebih percaya padanya ketimbang padaku," ia menyeruput sedikit kopinya. Mendadak kegetiran ikut merasuki hatiku. Ya, aku paham. Wak Dun adalah orang berpengaruh di kampung kami. Ia cukup dihormati karena kekayaannya yang melimpah ruah.
"Jadi itu yang membuatmu tiba-tiba menghilang dari kampung ini?" aku menatapnya dalam-dalam. Ia menggeleng.
"Lalu?" aku mendesaknya.
"Usai Wak Dun, beberapa laki-laki di kampung ini---yang sudah beristri--- berbondong-bondong antre meniduriku."
Aku ternganga.
***
Percakapanku dengannya tidak berhenti sampai di situ. Ia bicara sangat banyak. Aku sendiri heran mengapa ia begitu mempercayaiku, menjadikanku sebagai tempat curhatnya. Mungkin karena aku bersikap baik padanya. Tidak memusuhinya.
"Semua perempuan di kampung ini menghujatku," ia mengeluh. Tatapannya kosong. Sejenak perasaanku bercampur aduk. Di lain pihak aku paham dan memaklumi perasaan para istri yang suaminya bermain api dengan perempuan lain. Apalagi perempuan itu masih tergolong bocah. Masih ranum.
Di sisi lain aku kasihan padanya. Pada gadis mantan penari Jathilan itu. Setiap kali pulang, orang-orang pasti akan menyambutnya dengan cibiran. Bahkan ada yang tak segan menyerangnya. Menjambak rambut atau mencakar pipinya yang lembut dan montok itu.Â
Itulah sebab ia tidak berani pulang. Dan kalau toh ia kangen pulang, maka orang yang pertama kali dikunjunginya itu adalah aku. Ia tidak punya tempat singgah lain. Bahkan kedua orangtuanya belakangan ikut-ikutan membenci dan menolak kehadirannya.
"Anak tidak tahu diri! Kau sudah mempermalukan keluarga! Pergi kau!" begitu aku pernah mendengar ayah tirinya menghalaunya seperti mengusir seekor anjing buduk. Aku semakin kasihan melihatnya. Ia tidak seharusnya mengalami nasib sedemikian buruk.Â
Semua berawal dari ulah Wak Dun itu. Ia jadi dikucilkan dan dibuang oleh keluarga sendiri, sungguh, aku tidak berani membayangkannya.
"Sekarang kau tinggal di mana?" aku menatapnya penuh simpati.
"Sementara ini aku menetap di losmen itu. Jadi anak kesayangan Mama di sana."
Penjelasannya yang jujur membuatku menghela napas panjang.Â
"Sudah kepalang tanggung. Semua orang terlanjur memusuhiku. Satu-satunya orang yang menerimaku dengan baik hanya pemilik losmen itu," ia tertawa. Getir.
"Itu karena kamu cantik," aku memujinya. Ia tertawa lagi.
"Benar. Karena aku cantik. Dan masih muda. Itu yang membuatku cepat sekali kesohor, mencuri perhatian banyak lelaki hidung belang," ia menenggak habis kopi yang sudah mendingin. "Sekarang aku benar-benar telah menjadi kembang. Kembang berbau busuk. Lebih busuk dari sekadar kembang Jathilan pemuas napsu Wak Dun."Â
Ia beralih meraih sigaret di atas meja. "Rokok suamimu?"Â
Aku mengangguk.
Sebentar kemudian asap mengepul dari lubang hidung dan mulutnya.
***
Ini sudah hampir setengah tahun ia pergi---lebih tepatnya terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Tak ada kabar berita darinya. Kupikir ia sudah betah tinggal di sana. Di losmen milik Mama-mama itu. Atau---aku berharap ia mengalami nasib lebih beruntung dari sekadar menjadi kembang pajangan losmen. Dinikahi oleh seorang pejabat, misalnya.
"Dia itu lonte. Perempuan kurang ajar!" suatu pagi seorang ibu seumuran denganku yang tinggal di sebelah rumah datang bertandang. Aku yang kebetulan sedang sendiri karena suamiku bertugas ke luar kota, terpaksa mempersilakannya.
"Kami kelompok ibu-ibu di kampung ini sepakat akan merajamnya habis-habisan kalau melihat ia masih juga berkeliaran di sini," ibu itu masih meracau. Aku tahu siapa yang tengah dibicarakannya. Pasti gadis itu. Mantan penari Jathilan itu.
"Eh, ngomong-ngomong, saat curhat sama Jeng Ayu dulu apakah ia menyebutkan satu persatu nama-nama lelaki yang pernah menidurinya?" ibu tetangga itu menelisikku..Â
"Maksudnya ?" aku menatapnya bingung.
"Oalah, Jeng. Sudah menjadi rahasia umum. Dia itu ember. Setiap kali habis berkencan dengan laki-laki suami orang, dia tidak segan menyebarkan nama laki-laki itu. Dan tahukah Jeng Ayu siapa nama laki-laki yang baru-baru ini keprucut disebutnya?"
Aku menggeleng.
"Mas Arya," ibu itu berbisik mantap seraya berbalik badan, pamit meninggalkan rumahku.
Sesaat lamanya aku termangu. Pikiranku masygul. Jika benar kata ibu itu---sepertinya aku harus segera bergabung dengan kelompok mereka---kelompok para istri yang memasang badan untuk suaminya.
Ya, benar. Mas Arya adalah suamiku.
Tiba-tiba saja aku benci pada mantan penari Jathilan itu!
***
Malang, 03 Maret 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H