Sesekali ia menyeka airmatanya seraya melirik sekilas seperangkat pakaian tari yang teronggok di ujung  amben. Sementara Wak Dun sudah mengatupkan resleting celananya.
Di luar malam sendiri. Tak ada bulan.
"Kalau aku hamil bagaimana?" ia menatap lelaki setengah umur yang siap-siap pergi meninggalkannya. Â Tiba-tiba saja kerongkongannya terasa kering dan lehernya seperti tercekik. Ia meraih sebotol air mineral di atas meja.Â
"Kau bisa mengantisipasinya dengan minum jamu, pil atau apalah. Tanyakan saja pada Mama pemilik losmen ini. Aku akan memberimu uang."
Ia terdiam. Uang? Mendadak perutnya mual dan ingin muntah.
"Kenapa? Bukankah selama ini kau butuh uang?" Wak Dun menyelipkan sejumlah uang di balik kutangnya.
"Tidak Wak. Aku tidak butuh uang." Ia nyaris mengatakan itu. Tapi urung. Ia memilih diam. Membuang pandang jauh ke luar jendela.
Malam masih gulita. Mewakili perasaannya.
***
Ia menceritakan banyak hal padaku. Tentang keperawanannya yang sudah terenggut oleh Wak Dun---laki-laki yang seharusnya melindunginya. Ya, Wak Dun adalah ketua seni kuda lumping atau yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Jathilan. Masih menurutnya, Wak Dun pula yang meminta ia untuk bergabumg dalam kelompok seni tari tradisional itu..
"Sebagai kembangan," ia menirukan ucapan Wak Dun kala itu.