"Sore ini kau ada waktu, bukan? Aku harus ke dokter," Irmina tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.
"Oh, apakah kau sakit?" aku buru-buru meletakkan buku di tanganku.Â
"Masa kau lupa? Hari ini kan jadwal periksa kehamilan," dengan suara meninggi ia menatapku. Aku segera mengangkat tangan, "Oh, tentu! Tentu saja aku ingat!"
Sungguh. Kalau saja bukan karena janjiku pada Amar, aku memilih tidak ingin meneruskan penyamaran konyol ini. Aku belum pernah menikah. Jadi aku tidak tahu bagaimana semestinya memperlakukan seorang istri. Apalagi istri yang tengah hamil.Â
"Jangan pasang tampang bingung seperti itu. Mau mengantarku tidak?" Irmina gegas meraih kunci motor. Ya, motor. Hanya itu kendaraan yang dimiliki oleh mendiang Amar.
"Kukira sudah waktunya aku membelikan mobil untukmu. Mm--maksudku tidak baik bagi ibu hamil terlalu sering berkendara motor," aku menatapnya sejenak. Ia menghentikan langkah.Â
"Amar, kukira kita akan membutuhkan banyak uang untuk persiapan kelahiran bayi kita nanti. Jadi, simpan saja uang hasil lemburanmu itu," Irmina berkata serius. Bola matanya yang bulat berkejap-kejap indah. Sungguh, ia sangat cantik dengan ekspresi seperti itu.
Ah, Amar. Ia memang sangat pintar memilih istri.Â
Astaga, apa yang sedang kupikirkan?
Tidak. Aku tidak boleh berpikir terlalu jauh tentang Irmina.Â
Aku menepuk keningku sendiri. Mengingatkan hatiku akan satu hal. Bahwa Amar hanya menitipkan istrinya. Bukan memberikannya.