Sementara pembuatan film terbaruku terpaksa dihentikan. Suasana berkabung masih menyelimuti. Kematian tragis seorang Rams, aktor kawakan akibat kecelakaan maut masih menjadi perbincangan hangat. Media cetak dan elektronik tak henti meng-update beritanya.
"Aku matikan televisinya, ya. Aku tidak suka berita kecelakaan terlalu diekspos," Irmina meraih  remote control.  Usai berkata begitu ia mengambil duduk di sebelahku. Aroma wangi rambutnya yang basah tercium oleh cuping hidungku.
"Kau tahu siapa aktor film yang baru saja meninggal karena kecelakaan itu?" aku mencoba memancing percakapan. Irmina menggeleng.Â
"Rams," aku memberitahunya.
"Rams? Siapa dia?" Irmina memicingkan mata. "Kau tahu sejak dulu aku bukan pengamat film yang baik."
Aku tertegun. Bagaimana mungkin Irmina yang mendiang suaminya seorang figuran mengaku tidak tertarik dunia film?Â
Terlebih lagi. Ia ternyata sama sekali tidak mengenali Rams. Aktor film laga yang sedang naik daun.
***
Kalau saja ia tahu aku bukanlah Amar, mungkin tubuhku sudah ditendangnya jauh-jauh. Ia menguasai seni bela diri Taekwondo. Amat mahir melakukan tendangan maut. Juga menguasai Karate dengan sempurna.
Setidaknya begitu yang kulihat dari beberapa foto yang terpampang di dinding. Foto dengan berbagai eksyen saat ia berlaga. Juga beberapa  trophy  yang diraihnya yang berjejer rapi di atas bufet.
Aku masih berdiri mengamati sekeliling rumah Amar. Rumah yang terkesan sangat sederhana. Yang memiliki ukuran tidak terlalu besar. Dan pintunya menghadap langsung ke arah danau buatan. Dari jendela yang terbuka lebar aku bisa bebas melihat beberapa perahu kecil tengah berkeliling mengitari danau.Â