-----
"Amar...kau sama sekali tidak menyentuh kopimu!" suara tegas itu mengagetkanku.Â
Irmina. Ia sudah berdiri di sampingku dengan tubuh hanya terlilit selembar handuk. Ia baru saja keluar dari kamar mandi.Â
Ingin sekali aku mengatakan padanya bahwa aku tidak minum kopi. Tapi tentu saja hal itu tidak kulakukan. Aku tidak ingin membuka topengku sendiri. Bukankah saat ini aku tengah menyamar menjadi Amar?
"Segera pakai bajumu, Ir. Nanti kamu masuk angin." Aku berdiri membelakanginya dan meraih cangkir kopi yang isinya sudah mendingin.
"Sejak kapan panggilan Na berubah menjadi Ir?" Irmina mengernyit alis. Sontak aku merasa gugup.Â
"Oh, itu... hanya untuk menyegarkan suasana," aku berkilah.Â
Kulihat dari pantulan cermin air muka Irmina berubah.
***
Ini hari pertama aku menyamar sebagai Amar, tinggal serumah dengan Irmina perempuan yang dinikahinya sekitar lima bulan itu. Dan aku sebisa mungkin menghindari berlama-lama bicara atau berkontak pandang dengannya. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin menjaga amanat Amar--bahwa ia hanya menitipkan istrinya. Bukan memberikannya.
Bersyukur Irmina  type  perempuan yang tidak agresif. Bahkan cenderung cuek. Jadi sementara waktu aku merasa aman melanjutkan penyamaranku.
Sementara pembuatan film terbaruku terpaksa dihentikan. Suasana berkabung masih menyelimuti. Kematian tragis seorang Rams, aktor kawakan akibat kecelakaan maut masih menjadi perbincangan hangat. Media cetak dan elektronik tak henti meng-update beritanya.
"Aku matikan televisinya, ya. Aku tidak suka berita kecelakaan terlalu diekspos," Irmina meraih  remote control.  Usai berkata begitu ia mengambil duduk di sebelahku. Aroma wangi rambutnya yang basah tercium oleh cuping hidungku.
"Kau tahu siapa aktor film yang baru saja meninggal karena kecelakaan itu?" aku mencoba memancing percakapan. Irmina menggeleng.Â
"Rams," aku memberitahunya.
"Rams? Siapa dia?" Irmina memicingkan mata. "Kau tahu sejak dulu aku bukan pengamat film yang baik."
Aku tertegun. Bagaimana mungkin Irmina yang mendiang suaminya seorang figuran mengaku tidak tertarik dunia film?Â
Terlebih lagi. Ia ternyata sama sekali tidak mengenali Rams. Aktor film laga yang sedang naik daun.
***
Kalau saja ia tahu aku bukanlah Amar, mungkin tubuhku sudah ditendangnya jauh-jauh. Ia menguasai seni bela diri Taekwondo. Amat mahir melakukan tendangan maut. Juga menguasai Karate dengan sempurna.
Setidaknya begitu yang kulihat dari beberapa foto yang terpampang di dinding. Foto dengan berbagai eksyen saat ia berlaga. Juga beberapa  trophy  yang diraihnya yang berjejer rapi di atas bufet.
Aku masih berdiri mengamati sekeliling rumah Amar. Rumah yang terkesan sangat sederhana. Yang memiliki ukuran tidak terlalu besar. Dan pintunya menghadap langsung ke arah danau buatan. Dari jendela yang terbuka lebar aku bisa bebas melihat beberapa perahu kecil tengah berkeliling mengitari danau.Â
"Sore ini kau ada waktu, bukan? Aku harus ke dokter," Irmina tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.
"Oh, apakah kau sakit?" aku buru-buru meletakkan buku di tanganku.Â
"Masa kau lupa? Hari ini kan jadwal periksa kehamilan," dengan suara meninggi ia menatapku. Aku segera mengangkat tangan, "Oh, tentu! Tentu saja aku ingat!"
Sungguh. Kalau saja bukan karena janjiku pada Amar, aku memilih tidak ingin meneruskan penyamaran konyol ini. Aku belum pernah menikah. Jadi aku tidak tahu bagaimana semestinya memperlakukan seorang istri. Apalagi istri yang tengah hamil.Â
"Jangan pasang tampang bingung seperti itu. Mau mengantarku tidak?" Irmina gegas meraih kunci motor. Ya, motor. Hanya itu kendaraan yang dimiliki oleh mendiang Amar.
"Kukira sudah waktunya aku membelikan mobil untukmu. Mm--maksudku tidak baik bagi ibu hamil terlalu sering berkendara motor," aku menatapnya sejenak. Ia menghentikan langkah.Â
"Amar, kukira kita akan membutuhkan banyak uang untuk persiapan kelahiran bayi kita nanti. Jadi, simpan saja uang hasil lemburanmu itu," Irmina berkata serius. Bola matanya yang bulat berkejap-kejap indah. Sungguh, ia sangat cantik dengan ekspresi seperti itu.
Ah, Amar. Ia memang sangat pintar memilih istri.Â
Astaga, apa yang sedang kupikirkan?
Tidak. Aku tidak boleh berpikir terlalu jauh tentang Irmina.Â
Aku menepuk keningku sendiri. Mengingatkan hatiku akan satu hal. Bahwa Amar hanya menitipkan istrinya. Bukan memberikannya.
Bersambung........
***
Malang, 19 April 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI