Aku berdiri menjejerinya. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Kubimbing lengan perkasa itu dan mengajaknya masuk kembali ke dalam rumah.
"Ris, aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa padamu, juga bayi dalam kandunganmu itu," Mas Prayit berkata lirih. Aku mengangguk. Aku sangat memaklumi perasaannya. Ia terlalu  mengkhawatirkan keadaan kami--aku dan bayiku, hingga pikirannya mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak masuk akal.
Kupikir sudah waktunya aku menjelaskan semuanya. Mengenai penyebab kematian Bibi Lastri yang selalu dikait-kaitkan dengan fenomena gerhana bulan.Â
"Mas, kuberitahu padamu. Bibi Lastri dan bayinya meninggal bukan karena melanggar pantangan. Nyawa Bibi Lastri tidak tertolong sebab ia mengalami pendarahan hebat saat melahirkan.  Blooding. Sementara bayinya tidak terselamatkan karena menderita penyempitan jantung."
"Tapi, Ris..."
"Dengar dulu Mas. Saat itu Bibi Lastri menolak melahirkan di Rumah Sakit. Ia memilih ditangani seorang dukun beranak. Padahal dukun itu belum pernah sekalipun menjalani pelatihan."
Mendengar penjelasanku Mas Prayit terdiam. Perlahan amarahnya mereda.
Aku menarik napas ega.
Tapi mendadak aku panik. Sesuatu--hangat, meleleh dari bawah perutku.
"Mas! Sepertinya bayi  supermoon  kita akan lahir!"