Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | "Maruah Bapak"

1 Februari 2018   07:31 Diperbarui: 2 Februari 2018   02:05 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi :floresa.co

Kali ini aku mengacungi jempol untuk Bapak yang berani menolak bujukan aparat setempat. Bapak dengan sisa-sisa keberaniannya mengatakan 'tidak' pada ajakan yang dinilai bisa menjatuhkan maruahnya.

Keberanian Bapak diungkapkannya melalui surat yang dikirim untukku.

------Apa  kabar  Bocah  Gemblung?

Hidup di tanah orang sebagai guru SD, tentu membuatmu kangen rumah. Tapi pengabdianmu jelas menjadikan Bapakmu ini bangga. Setidaknya Bapakmu bisa pamer dan sedikit menyombongkan diri di hadapan orang-orang sekitar yang dulu--ketika kamu masih kecil suka memandang sebelah mata kehidupan kita. 

Kamu pasti masih bisa mengingatnya, kan, Le. Bagaimana kamu pulang sekolah sambil menangis,  gerung-gerung  hanya karena diejek oleh salah seorang temanmu yang Ayahnya seorang pejabat.

"Bapak juga, sih, kenapa dulu putus sekolah. Jadinya ya seperti ini. Cuma bisa mengayuh becak!"

Bapak tidak lupa kata-kata yang kamu ucapkan itu, Le. Sambil wajahmu  prembik-prembik  dan ingusmu meler di sana sini. Waktu itu Bapak ingin sekali menjewer telingamu (sebab Bapak merasa kesal) bocah seumuran kamu kok ya sudah berani memprotes Bapaknya sendiri.

"Bapak putus sekolah karena tidak punya beaya, Le. Makanya kamu sekolah yang pinter. Biar bisa jadi dokter atau minimal menjadi seorang guru."

Dan doa Bapak terkabul.

Sekarang, meski statusmu hanya sebagai guru honorer, Bapakmu ini tetap saja merasa bangga. Memuji kamu terus menerus di depan tetangga kanan kiri. Maklum  wong  ndeso.

Oh, ya, Le. Saat ini Bapakmu sudah pensiun dari mengayuh becak. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin mengistirahatkan kaki yang sudah lebih dari dua puluh tahun bekerja keras hingga kapalan. Juga pantat yang mengeras serasa tak berdaging.

Meski ada juga yang menyayangkan keputusan Bapakmu ini. Salah satunya si Kasim, tetangga sebelah rumah.

"Oalah, Kang Mus. Sudah enak-enak jadi tukang becak kok berhenti? Lantas mau dapat uang dari mana  sampean  nanti?"

"Jangan menghinaku, ya, Sim. Kamu tahu? Anak lanangku satu-satunya--si Arif yang ngganteng itu, dia sudah menjadi guru. Dan ia kerap mengirimiku uang."

"Halah, Kang. Berapa sih gaji guru? Paling juga masih lebih besar upah sampean  menarik becak."

"Jaga mulutmu, Sim. Guru zaman sekarang beda jauh dengan guru zaman dulu. Hidup mereka lebih terjamin."

"Ora  percoyo, Kang!"

"Ora  percoyo  yo  wis!"

Ya, sudah, Le. Biarkan saja si Kasim tidak mempercayai kata-kata Bapak. Toh tekad Bapak sudah bulat. Tetap ingin mengambil pensiun dari pekerjaan  mbecak.

Hari pertama tidak menarik becak, sungguh sangat menyenangkan, Le. Bapak bisa bangun molor. Nelat mandi. Berlama-lama duduk di  amben  seraya  rengeng-rengeng  menikmati kopi buatan Ibumu.

Jangan khawatir. Bapak masih memiliki sedikit tabungan. Bapak serahkan tabungan itu kepada Ibumu. Dan aku yakin Ibumu bisa mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya selayak Menteri Keuangan.

Tapi, Le. Baru juga menjalani masa pensiun tiga hari, seorang pamong desa datang menemuiku. Pamong desa ini berpakaian necis. Rapi dan wangi.

"Pak Mus. Saya mendapat tugas memberi  woro-woro  kepada seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah sini. Sangat penting."

Pamong desa itu mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya.

"Kalau pada pemilihan Pilkada nanti  sampean  memilih orang ini, akan ada sedikit salam tempel sebagai ungkapan terima kasih."

Pamong desa itu menyodorkan amplop ke arah Bapak.

"Walah, ini kampanye terselubung, toh? Kalau aku menolak  piye?"

"Berarti Pak Mus menolak rezeki."

"Loh, aku lebih suka rezeki yang halal."

"Ini halal Pak Mus. Orang ini ikhlas kok memberikannya."

"Ikhlas macam apa itu? Ada embel-embel harus memilih dia kok dibilang ikhlas? Lagi pula masalah memilih pemimpin bukannya urusan pribadi? Tidak boleh ada pemaksaan bukan? Katanya ini negara demokrasi."

Sampai di situ pamong desa yang wangi itu tidak berani mendesak-desak Bapakmu lagi. Ia pergi meneruskan langkah. Mencari mangsa lain yang rela menggadaikan maruah demi uang. 

Sudah ya, Le. Bapakmu ingin membantu Ibumu memberi makan ayam. Jaga dirimu baik-baik. Jaga maruah, pikiran dan hati dari godaan uang haram.

 

Teriring  kangen,

Bapakmu  yang  belum  sebulan  pensiun  

***

Seseorang mengetuk pintu. Membuatku melipat surat dari Bapak.

"Pak Arif. Ini ada titipan dari caleg sebelah. Sebisa mungkin Bapak pengaruhi orang-orang di sekitar Bapak agar memilih beliau. Jika sukses, nanti akan menyusul uang tambahan buat Bapak."

Segepok uang disodorkan ke arahku.

Mataku hijau.

Mendadak aku  amnesia.  

Melupakan pesan Bapak tentang maruah dan uang haram.

***

Malang, 01 Februari 2018

Lilik fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun