Sementara orang yang nyaris kutabrak tidak terlihat lagi. Ia menghilang. Mungkin merasa takut atau terkejut melihat aku jatuh tersungkur.
Tapi syukurlah. Aku hanya menderita luka ringan. Hanya lecet-lecet sedikit di bagian kaki. Agak pincang kuraih lagi sepedaku. Sembari menahan rasa nyeri aku berbalik pulang. Urung berkunjung ke rumah Nurdiah.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, tiba-tiba saja aku teringat pesan Uti.
Sekarang adalah hari naasku. Sebaiknya aku tidak pergi ke mana-mana.Â
Begitu menurut catatan buku primbon.
***
Sejak mengalami kecelakaan kecil itu aku tidak berani lagi melanggar peringatan Uti. Aku juga mulai menanggalkan pikiran modern-ku. Mulai terpengaruh hal-hal yang selama ini tidak kupercayai. Bahkan aku jadi suka mengintip primbon tua yang masih disimpan di tempat yang sama oleh Uti---di laci meja yang terletak di sudut kamar.
Saat usiaku  beranjak dewasa, aku sudah hafal di luar kepala perihal hitung-hitungan neptu dan weton yang kupelajari dari buku kecil milik Uti itu. Dan dampaknya aku menjadi gadis super hati-hati. Sangat njlimet dan pemilih, terutama yang berkenaan dengan masalah jodoh.
"Jeng, usiamu sudah hampir dua puluh lima tahun. Sudah waktunya menikah," suatu siang Uti menegurku seraya memutar dubang di dalam mulutnya.
"Sabarlah Uti. Ajeng masih belum menemukan jodoh yang terbaik."
"Loh, Handoko kemarin? Bukankah ia siap melamarmu?"