Saat mengetahui aku mendapat menstruasi pertama kali, Eyang Putri langsung meraih buku tua dari dalam laci meja di sudut kamar. Kemudian tanpa berkata-kata, Uti---begitu aku memanggilnya, keluar rumah menuju area persawahan. Entah apa yang dicarinya. Saat berbalik kembali ke dalam rumah kulihat di tangannya sudah tergenggam sesuatu.
"Ini tujuh macam akar tumbuhan untuk ramuan jamu, Nduk. Kamu harus meminumnya. Sebentar, aku buatkan racikannya dulu, ya," Uti bergegas menuju dapur.Â
Sekitar lima belas menit Uti sudah siap dengan satu gelas penuh jamu godok dan disodorkannya ke arahku. "Habiskan sampai tuntas, Jeng."
Tentu saja aku tidak sampai hati menolak perintah itu. Meski saat meminum ramuan itu aku harus menutup hidung rapat-rapat karena tidak tahan aromanya yang menyengat.
Tidak berhenti sampai di situ. Usai menungguiku menghabiskan seduhan jamu buatannya, Uti membisikkan kalimat dengan serius.Â
"Haidmu jatuh pada hari Kamis Pon, hari naas. Jadi tetap tinggal di rumah, tidak usah pergi ke mana-mana."
Kalau boleh jujur sebenarnya aku termasuk gadis yang berpikiran modern. Tidak memercayai hal-hal berbau mistik. Â Tapi demi menghormati Uti yang sudah berbaik hati mau merawatku sejak kecil---sejak ibuku pergi dan tidak kunjung pulang, aku terpaksa menuruti semua nasehat Uti. Dan mau tidak mau siang itu aku hanya berada di dalam kamar. Menghabiskan waktu di atas tempat tidur bermalas-malasan.
Kiranya aku bukanlah  tipe gadis remaja yang betah dipingit terlalu lama. Umurku sudah dua belas tahun. Aku merasa butuh sedikit kebebasan.
Sore hari ketika Uti pamit menjenguk salah satu kerabat yang tinggal di kampung sebelah, diam-diam aku menyelinap keluar.
Aku mengeluarkan sepeda kayuhku, mulai melaju di jalan raya. Tempat yang ku tuju adalah rumah Nurdiah, sahabatku.
Di tikungan jalan mendadak seseorang menyeberang membuatku nyaris menabraknya. Sontak aku membanting setir sepeda ke kiri. Sepeda meluncur tak terkedali menabrak pembatas jalan dan aku jatuh terperosok ke dalam parit.