Aku tak habis pikir mengapa Ibu meminta bercerai dari Ayah. Padahal menurutku Ayah adalah sosok yang baik. Sosok panutan yang tidak ada duanya. Sebagai anaknya, aku amat bangga padanya. Bahkan ketika guru di sekolah menanyakan padaku siapa tokoh di dunia ini yang aku idolakan dan kagumi, aku tak ragu menjawab---Ayah.
Tentu saja ketika Ibu memutuskan membuat surat gugatan cerai dan melayangkannya ke kantor Pengadilan Agama setempat, bermacam pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apa yang sudah diperbuat Ayah? Apa salah Ayah?
"Jangan-jangan Ayahmu selingkuh, Ndre!" itu pendapat Ryo, teman SMU yang duduk satu bangku denganku.
"Tidak mungkin! Aku tahu benar betapa besar cinta Ayah kepada Ibu. Tidak ada perempuan lain yang bisa menggantikan posisi Ibu di hatinya sampai kapan pun!" sergahku sengit. Aku tidak suka mendengar pendapat Ryo yang kupikir sangat ngawur itu.
"Bagaimana kalau keadaannya sekarang dibalik? Ibumu yang berselingkuh?" Ryo menatapku serius. Aku terjengah. Hatiku mulai bimbang. Masuk akal juga apa yang dikatakan Ryo.
Dan ketika kesempatan itu ada, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengorek hati Ibu.
"Apakah Ayah telah berbuat kesalahan fatal sehingga Ibu memilih untuk berpisah?" tanyaku hati-hati. Ibu tidak segera menyahut. Ia terdiam cukup lama. Sepertinya Ibu memastikan dulu, apakah aku layak mendapat penjelasan darinya.
"Andre, kupikir kau sudah cukup dewasa untuk bisa memahami kondisi kami. Ayah dan Ibu terpaksa harus mengambil langkah berat ini. Berpisah adalah salah satu solusi terbaik," usai berkata begitu Ibu tercenung sejenak.
"Kalau kalian memang saling mencintai, harusnya bisa mempertahankan cinta kalian. Jangan mengambil keputusan yang pada akhirnya membuat seumur hidup menyesal," aku bicara bak orang bijak. Entah mengapa aku merasa lebih pintar dari kedua orang tuaku.
Ibu kembali terceung.
"Ibu harus menarik kembali gugatan cerai itu," aku menatap Ibu tak berkedip.