Ritual Ojung kian memanas. Kami---aku dan Padil menari-nari berkeliling arena setiap kali hendak melakukan sabetan. Orang-orang kian bersorak-sorak kegirangan.
Hingga waktu yang ditentukan hampir habis, tak satu pun dari kami yang terluka. Aku mendengar Ayah Padil bersumpah serapah. Memarahi bocah kecil yang sepertinya sama sepertiku. Sengaja tidak ingin melukai.
Para penonton mulai ikut kecewa. Ritual Ojung kali ini dianggap gagal. Tidak setetes darah pun mengucur dari tubuh kami. Itu menandakan musim kering akan terus berkepanjangan. Hujan tidak bakal turun.
Tapi mendadak kekecewaan semua orang sirna. Berubah menjadi gegap gempita dan suka cita. Orang-orang di tepi lapangan ikut menari-nari.
Ada apa? Tak disangka-sangka hujan deras tiba-tiba mengguyur. Membasahi tanah gersang di perkampungan kami.
Ayah Padil pun tidak ketinggalan. Ikut bergembira. Lelaki tua itu segera melepas kemejanya. Membiarkan tubuhnya yang tambun basah kuyup oleh guyuran hujan.Â
Ayahku pun demikian. Udheng yang semula diikatkan di kepalanya kini dililitkan pada pinggangnya yang tak lagi ramping.
Dua lelaki tua itu menari-nari beriringan mengikuti irama yang kian rampak, berhujan-hujan ria melupakan permusuhan mereka yang menahun.
Aku dan Padil menepi. Saling berpandangan.
"Mana kakakmu yang cantik itu, Dil?" bisikku di telinga bocah kelas 5 SD itu.
"Mbak Sri? Tadi ketika aku berangkat ke sini ia tengah mengenakan mukenanya," Padil menjawab seraya tersenyum. Aku mengangguk. Buru-buru kutinggalkan arena Ojung---pulang menuju rumah untuk membersihkan tubuhku yang berlumuran minyak kelapa.