"Fokuskan sabetanmu pada titik-titik yang mematikan, Mat," Ayah membisikiku.
"Tidak Ayah. Ritual Ojung ada aturannya. Kami hanya boleh menyerang lengan, punggung, dada, perut dan kaki. Selain area itu tidak diperkenankan," aku mengingatkan Ayah.
"Kau lupa, Mat? Bagaimana tahun lalu anak juragan keparat itu melukai tubuh kakakmu? Ia mengabaikan aturan-aturan yang berlaku. Ia seenaknya saja menyabetkan rotan pada wajah Suleman," Ayah berkata getir.
Ya, aku ingat. Hingga kini bekas sabetan itu masih ada. Wajah kakakku menjadi cacat. Itu yang semakin memupuk dendam kesumat Ayah.
"Kau seranglah sesuai perintahku, Mat," kembali Ayah berbisik. Aku hanya diam.
Tetabuhan kian mendayu-dayu. Ayah sudah mendorong tubuhku ke tengah arena. Padil juga sudah siap berhadapan denganku.
Orang-orang di tepi lapangan mulai bersorak sorai. Memberi semangat kepada kami---para jagoan yang diandalkan.
Claaaak!
Satu sabetan nyaris mengenai wajahku. Untung aku berhasil memiringkan kepala sedikit ke kiri pada saat yang tepat. Sabetan maut Padil tidak sedikit pun menyentuh kulitku.
Claaak!
Kali ini aku membidik kaki mungil bocah lucu itu. Meleset. Kudengar Ayah berteriak-teriak memarahiku. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap tidak ingin melukai Padil yang usianya terpaut jauh dariku.