Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Akhirnya Kami Menikah

2 Januari 2018   15:29 Diperbarui: 2 Januari 2018   16:22 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Tag: Wedding Dress | Stylist Magazine/lobster.stylist.co.uk


Malam ini aku dan Danish memutuskan untuk terbang ke langit menggunakan kereta api bersayap milik Louis---seorang ilmuwan kenamaan. Louis adalah teman dekat Danish. Itu sebabnya Louis meminjamkan kereta api terbang miliknya kepada kami dengan senang hati. Ia bahkan membebaskan kami dari uang sewa yang biasa dibebankan.

"Spesial untuk calon pengantin unik seperti kalian," Louis tersenyum, memperlihatkan sederetan giginya yang rapi. Aku dan Danish tentu saja sangat gembira dan berterima kasih.

"Kami pasti akan membawakanmu oleh-oleh, Louis. Sebuah bintang yang cemerlang. Tapi itu  seusai aku menikahi Liliana," Danish berkata bersungguh-sungguh. Mendengar ucapan Danish, ilmuwan itu tertawa renyah. Ia memang begitu,  type  pria periang. Meski nyaris seluruh hidupnya dihabiskan di dalam laboratorium yang dipenuhi oleh benda-benda aneh, sama sekali tidak berpengaruh pada kepribadiannya. Ia tetap Louis yang menyenangkan.

Entah apa yang dilakukan Louis, tahu-tahu kereta api buatannya sudah terbang mengarungi angkasa. Aku dan Danish duduk berdampingan. Gaun pengantinku sesekali tersibak angin yang merasuk melalui lubang ventilasi.

Perjalanan menuju langit memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit 12 detik. Kereta berhenti di hamparan awan putih yang luas, yang pada tepinya berdiri papan  bertuliskan Setasiun  Singgah  Pemilik  Cinta  Sejati.

Danish gegas turun dari kereta. Ia melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil menemukan kembali mainan kesayangannya yang lama hilang. Tuxedo yang dikenakannya kusut masai, tak lagi rapi. Aku sendiri, sedang mengalami  jetlag,  sehingga hanya duduk memandanginya dari balik kaca jendela kereta.

"Kau tidak ingin membimbingku turun, Danish?" aku merajuk. Mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan ujung jemariku. Danish menoleh sejenak. Sepertinya ia senang melihat wajahku yang tampak kesal dengan bibir maju mengerucut.

Mendadak kereta api membunyikan peluitnya keras-keras. Memberi tanda akan segera berangkat meninggalkan setasiun. 

Buru-buru aku bangkit. Lalu berjalan sempoyongan menuju pintu yang terletak di lambung kereta api sebelah kanan.

Tapi langkahku terlambat. Kereta sudah menggerakkan mesin otomatisnya dan melesat cepat---secepat kecepatan cahaya, mengantarku turun kembali menuju bumi.

Sejak itulah aku tidak melihat lagi wajah Danish, calon suamiku. 

Kami pun gagal menikah di atas awan.

***

Pagi udara dingin membeku. Aku baru saja membuka mata. Dua orang suster membantuku bangun dari tempat tidur. Salah seorang dari mereka melepas baju tidurku. Menyeka wajah dan tubuhku menggunakan  washlap lembut yang sudah dibasahi air hangat. Kemudian mendandaniku dengan memakaikan gaun berwarna ungu muda. 

"Madam,Anda ingin jalan-jalan sebentar ke taman pagi ini?" suster yang merapikan tempat tidurku bertanya.

"Oh tentu," aku menjawab ringan. Kulihat suster itu berjalan ke arah pintu, menyeret sebuah kursi roda dan mendekatkannya padaku.

Kedua suster sigap membantuku naik ke atas kursi roda lalu membawaku keluar dari kamar. Mereka mendorong kursi secara bergantian menuju taman yang sangat indah, yang nyaris seluruh halamannya ditumbuhi bunga gladiol kesukaanku.

Dari jauh, samar-samar aku melihat Louis berlari-lari kecil menghampiriku. Dengan napas tersengal ilmuwan yang awet muda itu berkata, "Liliana. Aku ingin meminjamkan kereta api terbangku sekali lagi padamu. Aku ingin menebus rasa bersalahku karena membiarkan kereta itu meninggalkan Danish sendirian di atas awan."

"Jangan khawatir, Louis. Bukankah sebentar lagi aku akan menyusulnya? Siapkan saja keretanya untukku. Aku juga sudah tidak sabar ingin bertemu Danish. Bagaimana penampilannya sekarang? Apakah ia sama keriputnya denganku?" aku tertawa. Loius menjentikkan ujung jemari tangan kanannya. Seketika kereta api terbang muncul di hadapan kami diikuti bunyi peluit yang memekakkan telinga.

"Selamat jalan Liliana! Jangan lupa beri tahu aku kalau kau sudah sampai di setasiun awan dan bertemu Danish," Louis melambaikan tangan.

1 jam 30 menit 12 detik kereta api berhenti meluncur. Aku melihat Danish menjemput kedatanganku. Ia masih mengenakan Tuxedo yang dulu, yang masih kusut masai. 

Kami pun berpelukan. Tanpa membuang waktu kami segera melaksanakan pernikahan yang tertunda.

Sementara terdengar sayup-sayup suara panik dua suster yang tadi menungguiku, "Madam!  Madam  Liliana!"

Aku melongokkan wajah ke bawah. 

Oh, kiranya tubuh rentaku sudah terkulai kaku di atas kursi roda.

Dan beberapa orang pria tampak sibuk mengurus jenazahku.

***

Malang, 02 Januari 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun