Sejak itulah aku tidak melihat lagi wajah Danish, calon suamiku.Â
Kami pun gagal menikah di atas awan.
***
Pagi udara dingin membeku. Aku baru saja membuka mata. Dua orang suster membantuku bangun dari tempat tidur. Salah seorang dari mereka melepas baju tidurku. Menyeka wajah dan tubuhku menggunakan  washlap lembut yang sudah dibasahi air hangat. Kemudian mendandaniku dengan memakaikan gaun berwarna ungu muda.Â
"Madam,Anda ingin jalan-jalan sebentar ke taman pagi ini?" suster yang merapikan tempat tidurku bertanya.
"Oh tentu," aku menjawab ringan. Kulihat suster itu berjalan ke arah pintu, menyeret sebuah kursi roda dan mendekatkannya padaku.
Kedua suster sigap membantuku naik ke atas kursi roda lalu membawaku keluar dari kamar. Mereka mendorong kursi secara bergantian menuju taman yang sangat indah, yang nyaris seluruh halamannya ditumbuhi bunga gladiol kesukaanku.
Dari jauh, samar-samar aku melihat Louis berlari-lari kecil menghampiriku. Dengan napas tersengal ilmuwan yang awet muda itu berkata, "Liliana. Aku ingin meminjamkan kereta api terbangku sekali lagi padamu. Aku ingin menebus rasa bersalahku karena membiarkan kereta itu meninggalkan Danish sendirian di atas awan."
"Jangan khawatir, Louis. Bukankah sebentar lagi aku akan menyusulnya? Siapkan saja keretanya untukku. Aku juga sudah tidak sabar ingin bertemu Danish. Bagaimana penampilannya sekarang? Apakah ia sama keriputnya denganku?" aku tertawa. Loius menjentikkan ujung jemari tangan kanannya. Seketika kereta api terbang muncul di hadapan kami diikuti bunyi peluit yang memekakkan telinga.
"Selamat jalan Liliana! Jangan lupa beri tahu aku kalau kau sudah sampai di setasiun awan dan bertemu Danish," Louis melambaikan tangan.
1 jam 30 menit 12 detik kereta api berhenti meluncur. Aku melihat Danish menjemput kedatanganku. Ia masih mengenakan Tuxedo yang dulu, yang masih kusut masai.Â