***
Kris tertawa renyah mencicipi kue jahe gosong buatannya sendiri. Sementara dua anak perempuannya berebut membuka bungkusan yang ternyata berisi pakaian baru.
"Bagus sekali, Ma. Dari siapa ini?" si sulung menatapnya riang.
"Dari Sinterklas," Kris menirukan ucapan sipir penjara itu.
"Mama akan pergi lagi besok usai misa Natal?" bungsunya yang masih duduk di bangku TK besar menyela. Kris mengangguk.
"Lalu kapan kita bisa silaturahmi ke rumah saudara seperti dulu , Ma?" sulungnya yang usianya selisih dua tahun dari adiknya, menatapnya sekali lagi. Kris meraih kepala kedua gadis kecilnya, mengelus dan mengecup lembut rambut mereka bergantian.
"Dua tahun lagi kontrak kerja Mama rampung. Kita bisa pergi berkeliling ke rumah sanak famili lagi. Mama janji," Kris menyentil hidung anak-anaknya.Â
Ya, Kris, ia terpaksa berbohong. Ia tidak ingin kedua putri kecilnya tahu bahwa dirinya-lah yang membunuh Ayah mereka. Yang mayatnya diketemukan di tengah ladang jagung.
Kris mendesah. Ia membunuh bukan tanpa sebab. Ia sudah sampai pada batas kesabaran sebagai perempuan yang terlalu banyak mengalah. Ia sudah tidak tahan lagi diperlakukan semena-mena oleh suaminya itu.
Kris menelan ludah. Ia teringat bagaimana pahitnya hidup mendampingi suaminya yang pemalas, pemabuk dan penjudi. Ia terpaksa  mengambil alih tanggung jawab rumah tangga. Harus bekerja banting tulang menghidupi keluarga.
Terakhir Kris kehilangan kesabaran ketika suatu malam suaminya itu memaksanya menyerahkan semua uang penghasilan kepadanya.Â
"Kau sudah terlalu sering merampas uangku. Kali ini tidak akan kuberikan!" Kris berusaha melawan suaminya. Tapi laki-laki itu sepertinya sedang mabuk. Ia menggelandang tangan Kris hingga perempuan itu jatuh terjengkang.