Namanya Kromo. Masih bujangan. Pekerjaannya sehari-hari sebagai tukang bangunan. Suatu hari ia mendapat borongan  kerja memasang kijing atas perintah keluarga terpandang.  Ia pun segera menghubungi Roji, tetangga sebelah rumah yang biasa melayaninya sebagai kuli.
"Maaf, aku nggak berani ikut, Mo. Pekuburan tua itu masih wingit. Banyak hal-hal aneh sering terjadi di sana. Menurut juru kunci, hantu-hantu di sana berbeda dengan hantu-hantu di pekuburan umum biasa. Lebih mengerikan," Roji berulang kali menggeleng.
"Zaman sudah modern, Ji. Hantu-hantu tidak lagi menakutkan," Kromo tertawa.
"Ya, sudah kalau kamu tidak percaya. Kamu terima saja tawaran membangun kijing itu. Tapi jangan melibatkan aku," Roji mengangkat tangan.
Esoknya Kromo mulai bekerja---tanpa kuli. Ia mengusung sendiri material ke pekuburan tua yang letaknya agak terpencil di ujung kampung. Ia sengaja bekerja tanpa istirahat. Ia menargetkan dua tiga hari pekerjaan yang dibebankan padanya harus sudah rampung.
"Sebentar lagi azan Magrib, Nak," sebuah suara mengagetkannya. Seorang laki-laki sepuh---berpakaian serba hitam berdiri di belakangnya.
"Bapak juru kunci makam ini?" Kromo menghentikan pekerjaannya. Laki-laki tua itu mengangguk, berjalan terseok mendekati makam yang berantakan. Tangannya yang keriput mengelus batu nisan di hadapan Kromo.
"Kamu tahu ini makam siapa, Nak?" Laki-laki itu menatap Kromo tak berkedip. Kromo menggeleng.
"Ini makam Nona Isabel. Ia keturunan Belanda ningrat. Â Sangat cantik. Sekali waktu ia suka muncul, bermain-main dengan boneka kencana kesayangannya."
"Sekali waktu?" Kromo mengernyit alis.
"Iya, sekali waktu. Biasanya pada malam Jumat Kliwon seperti ini."