Sepagi ini Ande-ande Lumut sudah duduk bersila di atas tikar yang digelar di pendhaparumah panggung. Mbok Rondho Dhadapan, Ibunda angkatnya baru saja menyampaikan berita bahwa sebentar lagi akan datang empat orang putri yang hendak  mengunggah-unggahi dirinya.
"Jangan sampai salah pilih, ya, Thole. Ini kesempatan baik bagimu untuk memilih calon pendamping," demikian Ibunda angkat mewanti-wanti. Ande-ande Lumut mengangguk takzim.
Sementara di desa seberang, empat orang putri sudah selesai berhias dan siap berangkat menuju Desa Dhadapan. Keempatnya tampil dengan style yang berbeda.
Putri tertua, Klenting Abang, berkebaya merah, bergincu dan menyapukan perona pipi warna senada dengan busana yang dikenakannya. Ia menggelung rambut panjangnya sedemikian rupa membentuk cepol yang manis. Dihiasinya cepol itu dengan sebuah cunduk mentul.
Putri kedua, Klenting Ijo, memakai kebaya hijau tosca. Memoleskan bedak agak tebal pada wajah dan menyematkan sekuntum bunga kecubung di atas cuping telinga kirinya. Rambut panjangnya dipilin membentuk kepang-kepang yang bagus.
Putri ketiga, Klenting Biru, memadu-padankan kebaya warna biru dengan bros besar berbentuk bunga teratai. Melukis alis runcing dan melengkung bak bulan sabit. Rambutnya yang sebahu disasak tinggi menyerupai sarang burung emprit.
Ketiga putri tampil sangat menawan.
Kecuali Klenting Kuning. Ia tidak berniat menyapukan bedak sedikit pun pada wajahnya yang cantik. Ia bahkan mencoreng moreng pipi dan dagunya dengan jelaga yang diambil dari pantat dandang. Ia juga membiarkan rambut panjangnya terurai begitu saja, acak-acakan.Â
Tentu saja penampilan anehnya itu membuat ketiga kakak angkatnya tertawa terpingkal-pingkal tiada henti.
Tapi Klenting Kuning mengabaikan ejek tawa itu. Ia sudah memutuskan---harus berani tampil beda. Dan itu membuatnya jauh merasa lebih nyaman.
Untuk bisa mencapai Desa Dhadapan, keempat Klenting mesti melewati perbatasan berupa sungai lebar yang arusnya cukup deras. Tidak ada tukang perahu magang di sana. Satu-satunya juru seberang yang bisa ditemui adalah seekor kepiting raksasa yang sudah lama menjadi penghuni sungai itu, bertahun-tahun. Dan keempat putri sangat bergantung kepadanya.