Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kamar. Hari sudah pagi. Risma gegas menyibak selimut dan membangunkan Alya.
"Tidurmu nyenyak sekali, Al. Pasti mimpi indah ya...."
"Iyah, Ris. Mimpi bertemu cowok ganteng."
"Bule?"
Alya mengangguk. Tapi kemudian ia tertegun. Ditatapnya Risma dalam-dalam.
"Kok kamu tahu kalau cowok dalam mimpiku itu Bule?"
"Tahu dong! Rambutnya pirang. Matanya biru dan---dia memakai piyama warna abu-abu silky."
"Ris? Jangan-jangan kamu mimpiin dia juga ya?"
Risma tertawa. Ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi urung. Ia khawatir Alya malah menjadi ketakutan.
***
"AAEEHHGTTO, MARSI."
Tulisan itu lagi? Â Mata Risma terbelalak. Perasaan semalam tulisan itu sudah dihapusnya. Dahinya berkerut. "Aku ingin menyelesaikan cerita horor. Bukan cerita detektif." Dihapusnya huruf-huruf tak bermakna itu dengan kesal. Lalu ia mulai melanjutkan cerpen horornya yang semalam terbengkalai.
Penolakan Martin untuk tidak menjual rumah warisan orangtuanya membuat Paman John sangat marah. Laki-laki bertubuh tambun itu menyusun rencana jahat, ia ingin segera menghabisi keponakannya yang keras kepala itu.
Sementara Martin tidak menyadaribahwanyawanya tengah terancam. Malam itu ia naik ke tempat tidurdengan tenang. Surat-surat pentinghak waris dan kepemilikan rumahsudah diamankannya.
Ia tidur lebih sore dari biasanya.
Baru saja matanyaterlelap,dua sosok---bertopeng, mengendap-endap masuk ke dalam kamarnya menggunakan kunci duplikat. Mereka berdiri tepat di samping tempat tidur. Salah seorang mengulurkan tangan,membekap wajah Martin sekuat tenaga menggunakan bantal.
Pemudablasteran Belanda- Indoitu menggelinjang sesaat. Hanya sesaat.
Beberapa menit kemudian ia tidak bergerak sama sekali.
Esoknya---Martintidak ditemukan lagi di dalam kamarnya.
Pemuda itulenyap tanpa jejak.Â
Risma menghentikan jarinya. Perutnya terasa perih. Ia memutuskan untuk turun. Sarapan.
***
"Huruf-huruf aneh ini. meski berkali kuhapus tetap saja muncul," Risma bergumam kesal. Alya yang duduk di sebelahnya mengernyit. Diliriknya layar laptop yang masih menyala.
"AAEEHHGTTO, MARSI," Risma mengeja ulang tulisan itu.Â
"Apa maksudnya ya?" Alya menggeser duduknya. Perasaannya tiba-tiba merasa tidak enak. Â
"Huruf-huruf ini kukira semacam sandi," Risma bicara sendiri.Â
"Ris...ada sesuatu, ya?"
"Iya, Al. Ada. Seseorang atau entah siapa---sedang ingin bermain-main denganku."
***
 Risma mengutak-atik huruf acak itu layaknya bermain scrable.
"Huruf terakhir jika disusun menjadi...RISMA!" Alya berseru girang. Sejenak ia melupakan rasa takutnya. Risma mengangguk.
"Huruf lainnya?" Risma mengetukkan ujung jemarinya di atas meja. "Bahasa Inggris? Prancis? Atau...? Bravo! Ketemu, Al! Bahasa Belanda! Ayo kita coba susun dan cocokkan lagi."
"H-o-e gaat het!" Risma berhasil memecahkan sandi itu. Ia tersenyum puas.
"Tapi apa artinya?" Alya berbisik pelan.
"Sebuah salam, Al. Artinya, apa kabarmu?" Risma menjelaskan.
"Lalu apa maunya---maksudku siapa yang memberimu salam?"Alya mulai merinding.
"Pasti dia hantu yang baik. Sebab masih sempat memberi salam," lagi-lagi Risma tersenyum. Â
"Han-tu? Jadi di sini ada hantu?" wajah Alya seketika memucat. Ia tidak berani bertanya-tanya lagi. Risma tidak menyahut, perlahan ia mematikan laptop dan menyelonjorkan kaki di sebelah Alya.
Kriiieet....Pintu berderit. Alya menjerit.
"Selamat malam, gadis-gadis. Belum tidur?" Pak Ibun. Laki-laki berumur itu melongokkan wajah, disusul oleh istrinya.Â
Pak Ibun berjalan mendekat. Sedang Bi Salmah tetap berdiri di ambang pintu.
"Jadi---kalian sudah tahu?" Pak Ibun mendesah pelan.
"Tahu apa, Pak?" Risma menelengkan kepalanya sedikit.
"Tahu bahwa---rumah ini berhantu."
***
Mendengar kata-kata Pak Ibun, Alya berharap sahabatnya itu menggeleng. Tapi ternyata tidak. Risma justru mengangguk dengan wajah serius.
"Iya, Pak Ibun. Saya tahu rumah ini berhantu. Dan hantu itu...bernama Martin."
"Oh, itu kisah horor terbarumu kan Ris?" Alya menyela.
"Bukan, Al. Ini kisah nyata. Bukan begitu Pak Ibun? Bi Salmah?"
Wajah Bi Salmah seketika memucat.
"Am-pun, Non. Suami saya tidak ikut membunuhnya. Dia hanya membantu menguburkannya," Bi Salmah berkata terbata. Perempuan tua itu berlari menghambur ke dalam pelukan suaminya. Ia menangis sesenggukan sembari menggumamkan kalimat yang tidak jelas.
Risma beranjak dari duduknya. Matanya yang bulat menatap kedua suami istri itu tak berkedip.
"Benar kata istri saya, Non. Saya tidak tahu apa-apa. Saya cuma diminta oleh majikan saya yang terdahulu---sebelum Nyonya Rosa, untuk mengubur jasad Tuan Martin."
"Di mana bapak mengubur mayat Martin?" cecar Risma bak seorang detektif.
"Di sini, Non. Di kamar ini. Di bawah tempat tidur kalian." Â
***
Gubraak!
Alya melompat dari tempat tidur, memeluk lengan Risma erat-erat.
Kriiieeett....
Pintu kembali berderit. Kali ini Risma yang terlonjak kaget. Tante Rosa. Perempuan cantik itu sudah berdiri di ambang pintu.
"Jadi desas-desus itu benar, Pak Ibun? Saya kira hanya gosip murahan agar saya tidak betah tinggal di rumah ini. Oke, semuanya sudah terkuak. Tante akan segera menelpon Polisi."
Tante Rosa mengangkat dua jempolnya ke arah Risma.
Hari itu juga Risma dan Alya berkemas untuk pulang. Alya masih menggigil ketakutan. Berkali ia bergidik. Dua hari berturut-turut tidur di atas ranjang  yang di bawahnya terkubur mayat korban pembunuhan---sungguh sesuatu yang tidak akan terlupakan seumur hidup.
Sementara Risma. ia tak henti bertanya dalam hati. Bagaimana mungkin Martin, tokoh imajinasinya ternyata benar-benar ada? Apakah ini hanya sebuah kebetulan?
Sebelum meninggalkan kamar, dinyalakannya kembali laptop mungil yang tergeletak di atas meja. Matanya terbelalak. Satu kata menyapanya.
"Dank!"
Risma mengangkat bahu.
Ah, hantu itu---ia masih juga berada di kamar ini.
Kisah sebelumnya di sini.
***
Malang, 20 Oktober 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H