Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hilang

18 Oktober 2017   10:30 Diperbarui: 18 Oktober 2017   10:34 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ish bersikeras mengulang pendakian ke puncak Himalaya. Terlihat jelas dari sorot matanya saat ia menyampaikan niatnya itu padaku.

"Ini satu-satunya kesempatan baik bagiku untuk mencari Irmina, Ju," ia beralasan. Ya, Irmina. Aku paham Ish masih sulit melupakan kejadian tragis dua tahun lalu. Irmina hilang saat ikut mendaki bersama kami.

"Kau tahu, Ju? Aku selalu dihantui rasa bersalah. Bagaimana bisa tali yang kuikat pada tubuh Irmina itu terlepas?"

"Itu sudah takdir, Ish. Murni bukan kesalahanmu. Ketika itu salju di puncak Himalaya mendadak longsor."

"Feelingku mengatakan, Irmina masih hidup," Ish bersikeras. Aku tidak berani menyela kata-katanya. Aku tahu bagaimana karakter Ish. Ia sangat keras kepala. Percuma saja berdebat dengannya.

Meski begitu aku tetap menghkawatirkan dirinya. Aku tidak akan tega membiarkan ia pergi sendiri. Kuputuskan untuk menemaninya meski ia tidak memintaku.

***

Kuakui, Ish memiliki stamina yang sangat luar biasa. Perjalanan dari Kathmandu-Lukla yang memakan waktu selama tiga jam dengan pesawat kecil yang kami sewa sama sekali tidak membuatnya terlihat lelah. Ia bahkan bersiul-siul dengan riang saat jajaran pegunungan Himalaya yang tertutup butiran salju mulai menampak.

Kami singgah sebentar di Desa Phakding. Dari sini perjalanan berlanjut mengikuti rute yang biasa dilewati oleh para pendaki. Sepanjang perjalanan kami disambut oleh pepohonan rindang---cemara, Rhododendon dan Magnolia. Ish sendiri tidak banyak bicara. Ia sibuk membidikkan kamera mengabadikan keindahan panorama alam sekitar.

Perjalanan menuju puncak Mount Everest memakan waktu berhari-hari. Tapi semangat Ish tak kunjung padam, tetap menyala-nyala.

Meski begitu kami tetap harus rehat sehari dua hari di beberapa tempat untuk melakukan proses aklimatisasi  sebelum melanjutkan perjalanan sampai ke puncak.

Pada Minggu ketiga kami berhasil menjejakkan kaki di Gorak Sheep, pos terakhir yang berada di ketinggian 5364 mdpl. Ish menolak untuk istirahat. Ia ingin segera sampai di Everest Base Camp.Lagi, aku harus menurutinya.

Tiga jam kemudian kami sudah bisa melihat kibaran bendera warna-warni. Everest Base Camp sudah menunggu.

"Ju, kukira kau cukup menemaniku sampai di sini. Aku ingin mencari Irmina sendiri," Ish menatapku dengan pandang penuh harap. Aku ingin sekali menyanggahnya, tapi kulihat Ish mengangkat kedua tangan. Itu berarti ia benar-benar tidak ingin kuikuti.

Aku akhirnya mengalah.

Dan di situlah letak kesalahanku. Membiarkan Ish pergi sendiri mencari Irmina yang jelas-jelas sudah dinyatakan hilang adalah ketelodoranku paling besar.

Sebab Ish, sahabatku itu tidak pernah kunjung kembali.

***

Cuaca pagi sedang mendung. Segelas kopi menemaniku mengamati berita-berita yang tersaji di lembaran koran. Tidak kutemukan berita yang menarik. Kecuali ketika tanpa sengaja mataku tertumbuk pada judul yang terselip di halaman paling akhir.

"Pendaki Puncak Himalaya yang Dinyatakan Hilang Dua Puluh Tahun Lalu Diketemukan."

Mataku terbelalak. Foto yang terpampang dalam berita itu sangat kukenal.

Ish.

Dalam foto itu ia tertawa renyah.

Aku hampir tidak mempercayai penglihatanku. Hari itu juga aku bergegas meluncur menuju Rumah Sakit tempat di mana Ish dirawat sejak ia diketemukan.

"Ish!" aku tidak bisa menahan diri, memeluknya.

"Ju!" ia menyambut pelukanku dengan hangat dan penuh seyum.

"Apa yang terjadi padamu, Ish?" aku ingin menangis melihat kenyataan bahwa ia masih hidup.

"Oh, Ju. Aku berhasil menemukan Irmina. Tapi ia enggan kuajak kembali."

"Ish..."

"Kau tidak percaya apa yang kukatakan, Ju? Irmina masih hidup! Ya, ia masih hidup. Ia hanya terjebak---di sebuah kota yang indah dalam perut Gunung Himalaya."

"Kau berhalusinasi, Ish."

"Tidak Ju. Kau masih ingat ketika kuputuskan mencari Irmina seorang diri? Di camp 3 salju mendadak longsor. Aku terperosok jatuh. Tubuhku meluncur tak terkendali melewati lorong gelap sepanjang punggung gunung dan berhenti di suatu tempat. Tempat yang sangat bagus, Ju. Di sanalah aku bertemu Irmina. Selama ini ternyata ia tinggal bersama orang-orang yang dinyatakan hilang dalam pendakian."

"Ish...."

"Tapi Ju, aku hanya betah tinggal selama dua Minggu. Aku ingin pulang dan rindu bertemu denganmu. Tempat itu sekalipun indah bagiku sangat membosankan. Tidak ada hal-hal menarik yang bisa kulakukan di sana. Lalu aku memaksa Irmina untuk memberitahu jalan mana yang bisa membawaku kembali menuju dunia luar."

"Kau pergi sudah dua puluh tahun, Ish. Bukan dua Minggu..." kali ini aku berani menyanggahnya. "Lihatlah rambut di kepalaku, sudah memutih. Lihat pula wajahku, sudah dipenuhi kerutan. Aku juga sudah berkeluarga. Memiliki satu orang anak yang sudah beranjak remaja," lanjutku memberi penegasan. Ish tertawa.

"Lalu apa yang kau lihat pada penampilanku?" ia sengaja menyipitkan kedua matanya.

Aku membisu. Tidak segera menjawab. Tapi diam-diam aku mengamati Ish. Kulitnya masih kencang. Tubuhnya juga, masih gagah. Potongan rambutnya tidak berubah. Masih model itu-itu juga. Tak ada satu pun uban menghiasi kepalanya.

Ish masih tetap seperti dua puluh tahun lalu.

Seorang dokter masuk didampingi dua orang polisi. Dokter itu sempat melambaikan tangan ke arahku.

"Ia terus mengigau bahwa dirinya dua Minggu terjebak di dunia lain---di perut Gunung Himalaya. Jadi diagnosa sementara kami, pasien ini mengalami semacam gangguan kejiwaan," dokter memberi penjelasan.

"Tapi Dokter, kukira ia berkata jujur. Sebab tidak terjadi perubahan sama sekali terhadap kondisi tubuhnya. Juga pakaian yang dikenakannya ---masih sama seperti dua puluh tahun silam," aku menyela. Tapi aku tahu dokter dan kedua orang polisi itu tidak akan mempercayai ucapanku.

Dan pihak Rumah Sakit tetap memutuskan untuk memindahkan Ish ke ruangan khusus. Ruang inap bagi orang-orang yang kehilangan pikiran waras mereka.

Tepat bersebelahan dengan ruanganku.

***

Malang, 18 Oktober 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun