Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Dongeng | Cindelaras Menggugat

29 September 2017   12:48 Diperbarui: 29 September 2017   12:54 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewi Sekartaji terdiam ketika putra tunggalnya mengeluh, "Ibu, tidakkah ada tempat yang lebih layak bagi kita selain tinggal di dalam hutan ini?"

Sebenarnya perempuan cantik itu ingin sekali mengatakan sesuatu, lebih tepatnya menceritakan---tapi dirasa waktunya masih kurang tepat. Cindelaras masih belum cukup umur.

Berbeda dengan ayam jantan milik Cindelaras, ia getol memprovakasi tuannya agar rajin bertanya ini itu kepada Ibundanya. Hewan berkaki dua yang sejak kecil kemantil pada Cindelaras itu memang berharap, Dewi Sekartaji segera bertindak, melawan ketidakadilan yang selama ini telah diterimanya.

"Tanyakan sekali lagi pada Ibumu, apakah hutan memang satu-satunya hunian terbaik bagi kalian?" kembali ayam jantan yang bisa bicara itu membujuk.

"Ibu tidak akan mau menjawab," Cindelaras bertopang dagu.

"Wajah tampan rupawan seperti tuanku, tidak pantas berbaur dengan binatang liar. Sungguh suatu pemandangan yang amat kontras."

"Harusnya aku tinggal di mana?"

"Di istana."

"Istana? Tempat macam apa itu?"

"Istana adalah tempat tinggal para raja dan pangeran."

"Raja dan pangeran?"

"Raja adalah penguasa. Biasanya umur mereka sudah tua. Sedang pangeran adalah putra dari raja-raja itu."

Cindelaras terdiam, menatap ayam jantan di hadapannya dengan pandang tak sepenuhnya mengerti.

"Lalu menurutmu, apakah aku ini seorang pangeran?"  tanpa sadar pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Ayam jantan tersenyum.

"Tanyakan hal itu pada Ibumu."

***

Dewi Sekartaji baru saja meletakkan perabot dapur di atas para-para  ketika Cindelaras berhambur masuk menemuinya.

"Ibuuu...."

"Jangan menanyakan hal-hal yang tidak bisa Ibu jawab!" Dewi Sekartaji membentak seraya menggerakkan ujung jarinya. Cindelaras seketika mundur. Tapi kemudian ia maju lagi.

"Yang ini pasti bisa Ibu jawab!" Cindelaras menatap Ibunya dengan mata jenaka. Melihat tatap mata bocah kesayangan itu berkejap, Dewi Sekartaji tak sampai hati untuk membentaknya lagi.

"Baiklah, Ibu akan dengar."

"Ibu, apakah setiap anak memiliki orangtua?"

Dewi Sekartaji mengangguk.

"Kalau begitu siapa orangtuaku?"

Dewi Sekartaji berkerut kening. Tapi kemudian menyahut,"Ibu adalah orangtuamu."

"Hanya Ibu? Tanpa Ayah?"

Dewi Sekartaji terdiam.

"Anak rusa bilang ia mempunyai Ayah dan Ibu. Anak macan juga. Masa aku hanya punya seorang Ibu?"

"Kau punya Ayah. Harimau putih itulah Ayahmu."

***

Usai mendengar  jawaban Ibunya, Cindelaras menghambur ke halaman menemui ayam jantan yang meringkuk di dalam kandang. Ayam jantan yang sedang terkantuk-kantuk itu gegas berdiri, membusungkan dada dan mengepakkan kedua sayapnya.

"Jantan, Ibu bilang, harimau putih adalah Ayahku." Cindelaras berkata riang.

Ayam jantan tertawa.

"Jika benar harimau itu Ayahmu, seharusnya kau memiliki taring dan bulu."

Cindelaras tercenung. Ia menyeringai sejenak, menyentuh giginya yang berderet rapi. Tidak ada taring tajam dan runcing seperti yang dimiliki harimau putih. Lalu ia meraba kulitnya, mulus tak berbulu.

"Oh, aku harus menanyakan hal ini kepada Ibu!"

Cindelaras menghambur kembali, masuk ke dalam rumah.

***

Sepeninggal Cindelaras, ayam jantan membuka pintu kandang. Ia berjalan memutar mengitari rumah. Menguping pembicaraan Ibu dan anak yang sedang berlangsung di dapur.

"Ibu, anak harimau putih seharusnya bertaring dan berbulu."

"Ya, Ibu tahu."

"Lalu mengapa aku tidak memiliki dua ciri itu?"

"Ibu sudah memotong taringmu dan mencukur habis bulu-bulumu."

"Oh!" Cindelaras terperangah. Ia berlari lagi keluar rumah. Menemui ayam jantan yang sudah bertengger di atas pagar.

"Kuberitahu, Raden Panji Inu Kertapati itulah Ayahmu," ayam jantan berbisik perlahan. Cindelaras pun segera berbalik badan, berniat menemui Ibunya kembali. Tapi dilihatnya sang Ibu sudah berdiri di belakangnya.

"Ibu...."

"Baiklah Nak. Temui Ayahmu di istana. Katakan padanya, meski dibuang di hutan, anak raja tetaplah anak raja. Ia tumbuh kritis dan pintar."

***

Malang, 29 September 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun