Sore itu Yanti datang ke rumah menemuiku. Ia tidak mengatakan apa-apa. Wajahnya terlihat murung.
"Kau ingin Ibu meriasmu sekarang, Nduk?" tanyaku seraya menyentuh pundaknya yang kaku. Ia tidak menyahut. Hanya mengangguk kecil. Aku membimbingnya duduk di depan cermin.
"Jam berapa proses pernikahanmu?" tanyaku lagi seraya merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Setelah magrib, Bu," ia menyahut lirih. Aku melirik jam dinding sebentar. Masih ada waktu satu jam lagi.
 "Bu, andai waktu bisa diputar kembali, saya tidak akan melakukan hal bodoh ini. Saya ingin menjadi anak yang baik, bukan anak brengsek yang membuat Mama saya malu dan sedih..." entah apa yang tengah berkecamuk di dalam hatinya, tahu-tahu Yanti mulai terisak. Kusodorkan sehelai tisu. "Saya tahu, Mama saya tidak akan pernah memaafkan saya," lanjutnya seraya menatapku melalui pantulan cermin.
"Nanti aku akan bicara dengan Mama-mu. Sekarang kita mulai berias dulu ya..." aku meluruskan pundaknya, menyentuh dagunya dan mengoleskan pelembab secara merata pada wajahnya yang tirus.
Sore itu aku ingin merias bekas muridku itu secantik mungkin.
***
Prosesi akad nikah berlangsung sangat sederhana dan singkat. Tak ada acara tangis-tangisan seperti yang kerap kusaksikan. Suasana terasa beku.
"Dulu, ketika putri sulungku menikah, aku juga menangis, meski hanya dalam hati," ujarku seraya berdiri menjejeri Mbak Nur yang pandangannya masih tak lepas dari sosok Yanti yang malam itu mengenakan kebaya putih. Air muka perempuan seusiaku itu terlihat tegang.
"Perut buncitnya tidak bisa disembunyikan," ia bergumam pahit. Aku menyentuh lengannya. Sebagai seorang Ibu aku paham apa yang tengah dirasakannya. Tapi aku agak kurang setuju dengan perlakuannya terhadap Yanti. Mbak Nur sepertinya kurang ikhlas dan legowo menerima kenyataan.
"Mbak Nur, Allah baru saja menyaksikan peristiwa mitsaqan ghaliza, sebuah perjanjian yang kokoh dan suci antara dua anak manusia. Menantu dan anakmu Yanti, mereka sudah resmi dalam satu ikatan perkawinan. Jadi bukalah pintu hatimu untuk memafkan mereka," aku berkata serius. Mbak Nur masih bergeming.
"Anak itu telah membuatku sangat kecewa..." Mbak Nur membuang muka.
"Tak ada guna menyesali yang sudah terjadi. Hidup harus terus berlanjut, bukan?" aku mencoba mengingatkannya.
"Hidupku terasa dirundung malu, sangat malu."
Pembicaraan tidak berlanjut, sebab terlihat Yanti berjalan mendekat sembari memegangi perutnya yang membulat.
***
Ada banyak kisah yang terangkum dalam perjalananku selama menekuni profesi sebagai seorang perias. Dan seringnya pula tanpa sadar aku ikut terlibat di dalamnya secara emosional.
Seperti kisah Yanti ini. Aku tidak bisa berdiam diri untuk tidak ikut memikirkannya. Aku melihat permasalahan dari banyak sisi. Sisi yang paling menguasaiku adalah perasaanku sebagai seorang Ibu. Berulangkali aku merenung, mengapa harus sedemikian sulit untuk memaafkan sebuah kesalahan?
"Bagaimana mungkin aku memaafkan orang yang telah mencoreng wajahku dengan kotoran?" terngiang kembali kata-kata Mbak Nur semalam.
"Tapi Yanti itu anakmu, Mbak, anak kesayanganmu. Ia juga sudah menyatakan penyesalannya. Ia terlihat amat sedih hingga tidak tahu lagi harus berbuat apa, kecuali menangis," aku berusaha meluluhkan hati Mbak Nur yang membatu, seperti janjiku pada Yanti.
"Seorang Ibu tetaplah seorang Ibu. Semarah apapun ia tidak akan tega menerkam anak kandungnya sendiri. Bukan begitu, Mbak Nur?" aku melanjutkan ucapanku seraya tersenyum. Aku tahu hati perempuan itu sangat terluka. Tapi setidaknya ia masih mau mendengarku.
Bukan hanya sekali peristiwa yang menimpa Yanti ini kusaksikan---anak gadis hamil di luar nikah yang buntut-buntutnya menimbulkan perseteruan antara kedua belah pihak. Orang tua dan anak saling menyalahkan. Dan tidak sekali pula aku terpanggil untuk menjembatani, bukan sekadar sebagai perias, melainkan menjadi penengah. Dan hal yang paling membahagianku adalah saat mendengar kabar, hati yang bersitegang itu pada akhirnya kembali rukun, saling memaafkan.
Semoga kasus yang menimpa Yanti juga berakhir demikian. Aku yakin, waktu memiliki kekuatan luar biasa untuk merubah segalanya, termasuk hati manusia. Rasa marah, benci dan kecewa suatu hari pasti akan luluh.
Pagi ini aku menulis lagi satu catatan dalam lembar perjalananku. Catatan kecil penolak lupa juga sebagai khazanah pembelajaran hidup.
Untuk ananda Yanti, pengantinku semalam, teriring doa tulus untukmu. Sabar, ya Nduk. Jangan menangis lagi. Kelak jika bayimu lahir ke dunia, maaf dari Ibumu dengan sendirinya pasti akan datang.
***
Malang, 07 September 2017
Lilik fatimah azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H