"Mbak Nur, Allah baru saja menyaksikan peristiwa mitsaqan ghaliza, sebuah perjanjian yang kokoh dan suci antara dua anak manusia. Menantu dan anakmu Yanti, mereka sudah resmi dalam satu ikatan perkawinan. Jadi bukalah pintu hatimu untuk memafkan mereka," aku berkata serius. Mbak Nur masih bergeming.
"Anak itu telah membuatku sangat kecewa..." Mbak Nur membuang muka.
"Tak ada guna menyesali yang sudah terjadi. Hidup harus terus berlanjut, bukan?" aku mencoba mengingatkannya.
"Hidupku terasa dirundung malu, sangat malu."
Pembicaraan tidak berlanjut, sebab terlihat Yanti berjalan mendekat sembari memegangi perutnya yang membulat.
***
Ada banyak kisah yang terangkum dalam perjalananku selama menekuni profesi sebagai seorang perias. Dan seringnya pula tanpa sadar aku ikut terlibat di dalamnya secara emosional.
Seperti kisah Yanti ini. Aku tidak bisa berdiam diri untuk tidak ikut memikirkannya. Aku melihat permasalahan dari banyak sisi. Sisi yang paling menguasaiku adalah perasaanku sebagai seorang Ibu. Berulangkali aku merenung, mengapa harus sedemikian sulit untuk memaafkan sebuah kesalahan?
"Bagaimana mungkin aku memaafkan orang yang telah mencoreng wajahku dengan kotoran?" terngiang kembali kata-kata Mbak Nur semalam.
"Tapi Yanti itu anakmu, Mbak, anak kesayanganmu. Ia juga sudah menyatakan penyesalannya. Ia terlihat amat sedih hingga tidak tahu lagi harus berbuat apa, kecuali menangis," aku berusaha meluluhkan hati Mbak Nur yang membatu, seperti janjiku pada Yanti.
"Seorang Ibu tetaplah seorang Ibu. Semarah apapun ia tidak akan tega menerkam anak kandungnya sendiri. Bukan begitu, Mbak Nur?" aku melanjutkan ucapanku seraya tersenyum. Aku tahu hati perempuan itu sangat terluka. Tapi setidaknya ia masih mau mendengarku.