"Tidak ada blantik bernama juragan Ali. Kambing-kambing di ujung pasar itu milik Haji Rahman," pemuda itu menyahut. Aku tertegun.
"Kenapa Mas? Atau jangan-jangan Mas-nya sudah didatangi oleh beliau, ya..." pemuda itu berbisik pelan.
"Didatangi beliau? Apa maksud sampean?"
"Nabi Khidir Mas. Beliau setiap tahun muncul di sini, di pasar hewan ini, hanya sekali untuk menemui orang-orang yang memang ingin ditemuinya," pemuda itu tersenyum.
Aku terdiam. Aku pernah mendengar dongeng kisah Nabi Khidir ini dari Abah. Tapi tidak pernah berpikir sampai benar-benar bisa bertemu dengannya.
"Kambing kurus itu pasti pemberian dari beliau, ya?" pemuda itu melirik kambing yang menggelendot di sebelahku. Sekali lagi aku mengangguk.
"Itu rezekimu, Mas. Setiap tahun, di bulan Idhul Adha seperti ini selalu ada yang kebagian rezeki dari beliau. Jadi, Mas boleh membawa pulang kembali kambing itu."
Aku semakin tertegun. Setengah tidak percaya dengan apa yang telah aku alami. Tapi kemudian aku teringat perintah Abah. Ah, ya, aku harus segera mencarikan kambing gemuk dan sehat untuk Abah.
Hari itu aku pulang ke rumah membawa dua ekor kambing. Kurus dan gemuk.
Tapi untuk si kambing kurus, masih ada waktu membuatnya gemuk bukan?
***