Sampai detik ini tak banyak yang tahu, jika aku pernah menjalin kasih bersama Romeo. Ya, Romeo yang melegenda itu. Romeo yang lebih dikenal sebagai pasangan abadi Juliet.
Huft, kukira dunia memang telah bertindak tidak adil padaku.
Kuberitahu padamu, Romeo sebelum mengenal Juliet, ia lebih dulu mengenalku. Ia jatuh cinta padaku. Tergila-gila selayak seorang perjaka yang memuja gadis impiannya. Ia menyukai rambut ikalku yang lebat, memuji kulitku yang halus, juga terkesan pada binar mataku---yang menurutnya mengalahkan cahaya kejora dini hari.
Romeo memang menyukaiku. Amat sangat menyukaiku. Aku wanita pertama di hatinya. Jadi kutegaskan padamu--- sekali lagi, bukan gadis legendaris bernama Juliet itu kekasih pertamanya. Tapi aku. Juliet bukan siapa-siapa sebelum Romeo bertemu dan berkenalan dengannya.
Baiklah, kuceritakan satu rahasia padamu. Sebegitu besar cinta Romeo terhadapku kala itu, sampai ia begitu heroik, berani menerjang zona merah yang bertahun membatasi keluarga Capulet dan Montaque---dua keluarga yang sejak lama menasbihkan diri untuk saling bermusuhan, hanya demi aku.
Namaku Rosaline. Tidak banyak yang tahu tentang diriku. Yup, tidak mengapa. Bagiku itu merupakan salah satu ketidakadilan dunia. Orang-orang boleh lebih mengenal Romeo dan Juliet daripada aku. Kisah cinta mereka memang romantis, melegenda sepanjang masa. Romantis? Ah, yang benar. Mengapa jikalau romantis semua mesti berujung pada kematian tragis?
Memang, dunia benar-benar tidak adil terhadapku, terhadap sosok gadis yang pernah hadir di kehidupan Romeo. Termasuk Romeo itu sendiri. Aku tak pernah berhenti berpikir, apa salahku sehingga ia tiba-tiba beralih cinta kepada Juliet? Kemana kekaguman yang pernah ia buraikan kepadaku selama ini?
Aku menangis bermalam-malam ketika menyaksikan Romeo berdansa bersama Juliet dan---mencium mesra bibir gadis yang masih bertali darah denganku itu. Aku bahkan sempat berpikir ingin bunuh diri kala itu juga, melompat dari balkon kamarku agar tidak lagi merasa terluka oleh penghianatan cinta Romeo.
Hanya satu orang yang mengetahui betapa luluh lantaknya hatiku. Ya, hanya satu orang. Sst, kuberi tahu padamu. Orang itu adalah pegawai apotek yang padanya aku sering berkujung untuk konsultasi masalah kesehatanku.
"Kau hanya butuh menenangkan pikiranmu sejenak, Rosaline. Selain itu tidak ada. Obat-obatan tidak banyak menolongmu," apoteker itu selalu berkata begitu setiap kali aku menemuinya. Ia menasehatiku layaknya seorang dokter.
"Aku butuh obat penenang dosis tinggi darimu, Tuan," aku memanggilnya Tuan. Karena apoteker itu memang enggan menyebutkan siapa nama sebenarnya.
"Rosaline, obatmu hanya satu, Â bicara dari hati ke hati dengan Romeo."
"Anda sepertinya memahami betul perasaan saya terhadap Romeo," aku menggigit bibir. Mendengar ucapanku pegawai apotek itu tertawa. Tawa penuh simpati. Entah mengapa mendengar tawa itu hatiku merasa sedikit lega. Setidaknya masih ada orang yang peduli terhadapku.
"Kau ingin merebut kembali Romeo ke dalam pelukanmu, Rosaline?" Â Tuan apoteker mendekatkan wajahnya. Aku tidak mau menjawab. Aku khawatir jawabanku membuat Tuan apoteker itu tidak akan tertawa lagi.
"Kukira diam-mu adalah jawaban terbaik, Rosaline. Tidak perlu kutanyakan apa-apa lagi padamu," Tuan apoteker mengangguk hormat.
Tiba-tiba saja aku ingin menangis.
***
Berita pernikahan Romeo dan Juliet sudah tersebar di mana-mana. Sampai pula di telingaku. Hatiku kian tersayat.
"Rosaline, makanlah, Nak. Kau tidak perlu diet seketat itu. Terlalu kurus membuatmu tampak begitu lemah," suatu pagi Ibu menegurku. Kau dengar bukan? Bahkan Ibuku sendiri tidak tahu, perasaan apa yang saat ini tengah dirasakan olehku, anaknya.
"Kau harus tampil cantik dan menawan pada malam pesta pernikahan Romeo dan Julia nanti, Rosaline," Ibu mengingatkanku.
"Aku tidak akan datang pada pesta itu, Ibu. Aku lebih suka tinggal di kamarku menatap bulan yang merona merah jambu," ujarku seenaknya. Ibu menatapku sejenak. Sedikit heran. Tapi kemudian ia keluar dari kamarku tanpa berkata apa-apa, atau sekadar bertanya, mengapa aku menjawab pertanyaannya demikian.
***
Menemui Tuan apoteker kukira pilihan yang terbaik. Aku ingin Tuan pemerhati itu meramukan obat-obatan yang manjur untukku. Obat yang dengan segera mampu menyembuhkan luka hatiku.
"Tentu Rosaline, dengan senang hati aku akan meraciknya untukmu," Tuan apoteker itu berkata ramah. Ia meninggalkanku sebentar masuk ke dalam ruangan. Lalu keluar lagi dengan sekantung obat-obatan di tangannya.
"Minumlah obat ini sesuai petunjuk yang sudah kutulis di situ, Rosaline. Kuharap tiga hari lagi kau kembali ke sini dalam keadaan lebih baik."
Aku mengangguk.
Langkahku gontai saat pulang menuju rumah. Sejuta galau berkecamuk dalam pikiranku.Â
Kau harus segera mengakhiri semua, Rosaline. Agar jiwamu tenang.
Berkali suara itu menekanku. Aku tak berkutik.
Tiba di rumah aku mengunci pintu kamar rapat-rapat.
Selamat tinggal dunia yang kejam. Selamat tinggal Romeo pecundang.
Kutelan obat-obatan pemberian Tuan apoteker yang baik hati itu. Kuhabiskan semua. Hingga tandas. Tiada bersisa.
***
Kukira aku sudah mati. Sebab telingaku tidak bisa mendengar suara Ibu. Juga mataku tak lagi bisa melihat bulan merona merah jambu.
Ya, kukira aku benar-benar sudah mati.
Tapi aku keliru. Di hari ketiga aku terbangun. Aku bisa merasakan lagi sentuhan lembut tangan Ibuku. Juga wajah familiar Tuan apoteker yang baik itu.
"Sudah kuduga, Rosaline. Kau pasti akan menelan semua obat yang kuberikan. Untunglah aku menyadari hal itu," Tuan apoteker berdiri di tepi ranjangku mendampingi Ibu.
"Jadi ceritanya saya ini gagal mati, Tuan? Obat apa yang telah Anda berikan kepada saya?" aku tersenyum kecut.
"Hanya vitamin dan sedikit obat tidur, Rosaline," Tuan apoteker menatapku. Seperti biasa, tatapannya penuh simpati.
"Kau sudah membuat Ibu cemas, Nak. Syukurlah Tuan yang baik hati ini telah menjelaskan semuanya," Ibu mengelus ujung jemari kakiku. Sementara Tuan apoteker masih belum beralih pandang dariku. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu padaku.
"Ada yang ingin Tuan katakan pada saya?" aku mengangkat kepalaku sedikit. Â Tuan apoteker mengangguk. Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih di telingaku.
"Kau tidak usah bersedih hati lagi, Rosaline. Sebab---Romeo yang menghianatimu itu sudah mati. Aku telah memberinya racun sesuai dengan permintaannya sendiri. Menyusul kematian Juliet."
"Apakah Juliet juga sudah mati?"
"Semula tidak, Rosaline. Ia hanya tertidur sepertimu. Tapi setelah terbangun dan tahu Romeo benar-benar mati, Juliet bunuh diri dengan memotong urat nadi pergelangan tangannya."
Ah, lagi-lagi dunia bertindak sangat tidak adil padaku.
Kematian Romeo dan Juliet bukannya membenamkan kisah mereka, justru sebaliknya. Dua orang yang melukai hatiku itu hidup melegenda sepanjang masa.
Sementara aku---Rosaline, tak seorang pun peduli pada kisahku. Kecuali Tuan apoteker yang baik hati itu.
***
Malang, 31 Agustus 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H