Kukira aku sudah mati. Sebab telingaku tidak bisa mendengar suara Ibu. Juga mataku tak lagi bisa melihat bulan merona merah jambu.
Ya, kukira aku benar-benar sudah mati.
Tapi aku keliru. Di hari ketiga aku terbangun. Aku bisa merasakan lagi sentuhan lembut tangan Ibuku. Juga wajah familiar Tuan apoteker yang baik itu.
"Sudah kuduga, Rosaline. Kau pasti akan menelan semua obat yang kuberikan. Untunglah aku menyadari hal itu," Tuan apoteker berdiri di tepi ranjangku mendampingi Ibu.
"Jadi ceritanya saya ini gagal mati, Tuan? Obat apa yang telah Anda berikan kepada saya?" aku tersenyum kecut.
"Hanya vitamin dan sedikit obat tidur, Rosaline," Tuan apoteker menatapku. Seperti biasa, tatapannya penuh simpati.
"Kau sudah membuat Ibu cemas, Nak. Syukurlah Tuan yang baik hati ini telah menjelaskan semuanya," Ibu mengelus ujung jemari kakiku. Sementara Tuan apoteker masih belum beralih pandang dariku. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu padaku.
"Ada yang ingin Tuan katakan pada saya?" aku mengangkat kepalaku sedikit. Â Tuan apoteker mengangguk. Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih di telingaku.
"Kau tidak usah bersedih hati lagi, Rosaline. Sebab---Romeo yang menghianatimu itu sudah mati. Aku telah memberinya racun sesuai dengan permintaannya sendiri. Menyusul kematian Juliet."
"Apakah Juliet juga sudah mati?"
"Semula tidak, Rosaline. Ia hanya tertidur sepertimu. Tapi setelah terbangun dan tahu Romeo benar-benar mati, Juliet bunuh diri dengan memotong urat nadi pergelangan tangannya."