"Rosaline, obatmu hanya satu, Â bicara dari hati ke hati dengan Romeo."
"Anda sepertinya memahami betul perasaan saya terhadap Romeo," aku menggigit bibir. Mendengar ucapanku pegawai apotek itu tertawa. Tawa penuh simpati. Entah mengapa mendengar tawa itu hatiku merasa sedikit lega. Setidaknya masih ada orang yang peduli terhadapku.
"Kau ingin merebut kembali Romeo ke dalam pelukanmu, Rosaline?" Â Tuan apoteker mendekatkan wajahnya. Aku tidak mau menjawab. Aku khawatir jawabanku membuat Tuan apoteker itu tidak akan tertawa lagi.
"Kukira diam-mu adalah jawaban terbaik, Rosaline. Tidak perlu kutanyakan apa-apa lagi padamu," Tuan apoteker mengangguk hormat.
Tiba-tiba saja aku ingin menangis.
***
Berita pernikahan Romeo dan Juliet sudah tersebar di mana-mana. Sampai pula di telingaku. Hatiku kian tersayat.
"Rosaline, makanlah, Nak. Kau tidak perlu diet seketat itu. Terlalu kurus membuatmu tampak begitu lemah," suatu pagi Ibu menegurku. Kau dengar bukan? Bahkan Ibuku sendiri tidak tahu, perasaan apa yang saat ini tengah dirasakan olehku, anaknya.
"Kau harus tampil cantik dan menawan pada malam pesta pernikahan Romeo dan Julia nanti, Rosaline," Ibu mengingatkanku.
"Aku tidak akan datang pada pesta itu, Ibu. Aku lebih suka tinggal di kamarku menatap bulan yang merona merah jambu," ujarku seenaknya. Ibu menatapku sejenak. Sedikit heran. Tapi kemudian ia keluar dari kamarku tanpa berkata apa-apa, atau sekadar bertanya, mengapa aku menjawab pertanyaannya demikian.
***