Ningsih baru saja merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur ketika tiba-tiba telinganya mendengar seseorang mengetuk pintu.
"Siapa, ya?" Ningsih menggeliat sebentar. Sebenarnya ia malas untuk beranjak bangun. Tapi suara ketukan terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Dengan mata berat Ningsih berjalan menuju ruang depan.
Seorang pria setengah umur, bertubuh pendek, mundur beberapa langkah begitu melihatnya menguak daun pintu.
"Maaf saya mengganggu tidur Mbak," pria itu tersenyum. Ningsih menelengkan kepalanya sedikit.
"Ada apa, Pak?"
"Saya mau minta tolong Mbak---untuk merias anak gadis saya."
"Untuk nikahan besok pagi?"
"Tidak Mbak, untuk sekarang. Malam ini juga."
Ningsih mengernyit alis. Hatinya mendadak dongkol.
"Maaf, Pak. Jangan mempermainkan saya. Tidak ada cerita orang punya hajat pada tengah malam," Ningsih berniat menutup pintu. Ia tidak ingin meladeni orang iseng.
Tapi pria di hadapannya itu menghadang.
"Tolong saya, Mbak. Saya benar-benar butuh bantuan. Berapapun ongkosnya akan saya bayar."
***
Ningsih terpaksa menuruti permintaan pria tak dikenal itu. Bukan karena tergiur oleh bayarannya, tapi lebih pada rasa iba yang secara tak sadar muncul dari dalam hatinya. Ia berpikir dan membayangkan, andai yang datang minta tolong itu adalah Ayahnya. Duh....
Ningsih menyiapkan segala sesuatunya dengan agak terburu. Untunglah pakaian pengantin belum ia bongkar dari dalam kopor. Juga seperangkat make up  dan asesoris masih berada rapi di dalam tasnya.
Pria setengah umur itu sudah tidak sabar menunggunya. Ia membantu Ningsih membawakan semua peralatan dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
"Kita berangkat sekarang, Mbak Ning. Rumah saya tidak terlalu jauh dari sini. Sekitar lima kilometer."
Ningsih mengangguk. Ia segera naik dan duduk di dalam mobil dengan mata setengah mengatup.
Sepanjang perjalanan Ningsih membatin. Sudah resiko pekerjaanya sebagai perias yang tidak bisa menolak permintaan pengguna jasanya. Meski kadang ia merasa tidak nyaman dengan permintaan yang aneh dan nyleneh. Seperti malam ini, seumur-umur baru kali ini ia meladeni rias pengantin pada tengah malam.
Lima belas menit mereka sampai di area perumahan. Ningsih mengintip dari balik jendela mobil. Rasa-rasanya ia belum pernah melewati area perumahan ini.
"Ini perumahan baru, ya, Pak?" ia bertanya basa-basi. Pria yang duduk di belakang kemudi itu mengangguk.
"Sebentar lagi kita sampai, Mbak. Rumah saya terletak di posisi paling ujung."
Mereka turun dari mobil dan disambut oleh beberapa orang yang satupun tak ada yang dikenal oleh Ningsih.
Ningsih menyapu pandangan. Rumah yang berdiri di hadapannya terlihat sangat mewah. Di sekelilingnya diterangi oleh lampu-lampu amat benderang. Hiasan kain satin warna-warni menyambut berjumbai di sepanjang pintu masuk.
Ningsih diantar menuju ke kamar depan di mana anak gadis pria itu sudah menunggu.
"Anak saya sepertinya sedang tidur," pria itu membuka pinti kamar dan mengintip penghuninya.
"Tidak apa-apa. Saya sering merias pengantin wanita dalam keadaan tidur," Ningsih tersenyum. Ya, ia memang sering melakukannya. Nyaris semua pengantin wanita saat dirias mengaku mengantuk. Ningsih tentu saja membolehkan pengantin itu tidur. Dan ia tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Setelah rampung barulah Ningsih membangunkan sang pengantin yang biasanya---akan sangat terkejut saat melihat wajahnya sendiri di depan cermin. Pangling.
"Bisa selesai satu jam lagi, kan, Mbak? Penghulu akan datang tepat pukul satu," pria itu menatap Ningsih. Ningsih mengangguk. Ia melirik sejenak ke arah arloji di pergelangan tangan kirinya. Pukul 12.00 tepat.
Pria setengah umur itu kemudian meninggalkan Ningsih di dalam kamar, berdua dengan putrinya yang masih terbujur di atas tempat tidur.Ningsih berdiri mengamati gadis itu. Cantik. Gadis yang tengah pulas itu sangat cantik. Hidungnya bangir mencuat ke atas, seperti hidung yang dimiliki oleh wanita-wanita Timur Tengah. Alis matanya juga sangat bagus. Hitam dan lebat. Hanya sayang bibirnya tampak pucat. Mingkin karena ia tidak berlipstik.
Ningsih perlahan mengulurkan tangan. Ia berharap sentuhannya membangunkan gadis itu. Tapi ternyata tidak. Gadis itu tetap saja tertidur nyenyak.
Seperti yang biasa ia lakukan. Ningsih mulai bekerja. Jemarinya terampil bergerak bak seorang pelukis. Ia melukis alis, melukis bentuk bibir, menyapukan bedak dan memoles perona warna kesumba pada tulang pipi gadis itu.
Satu jam terlewati sudah. Ningsih menarik napas lega. Akhirnya selesai juga pekerjaannya. Ia segera merapikan peralatan riasnya yang tercecer.
Waktunya ia membangunkan gadis itu. Ia harus bergegas membantunya bertukar pakaian. Ningsih sudah menyiapkan gaun panjang berwarna putih gading. Gaun yang biasa dikenakan oleh para pengantin wanita saat ia dinikahkan.
"Sudah selesai, Mbak?" pria setengah umur masuk kembali ke dalam kamar. Ia tersenyum demi melihat anak gadisnya sudah terlihat semakin cantik.
"Bantu saya membangunkan putri Bapak. Sepertinya tidurnya sangat pulas," Ningsih berkata. Pria setengah umur itu tertawa.
"Anak saya hanya ingin dirias saja. Ia akan memakai gaunnya sendiri."
"Oh, kenapa Bapak tidak bilang sedari tadi? Tahu begitu saya tidak akan susah payah membawa kopor," Ningsih menyahut setengah kesal. Pria itu mengangkat bahu. Lalu ia menyodorkan segepok uang ke arah Ningsih.
"Ini onglos rias anak saya. Sopir saya akan mengantarkan Mbak pulang. Terima kasih sudah membantu mempercantik anak saya."
Ningsih hanya bungkam.
***
Mobil yang ditumpangi berhenti tepat di depan rumah Ningsih. Sopir yang mengantarnya tidak berkata apa-apa, ia meloncat sigap membantu menurunkan barang-barang bawaan Ningsih. Kemudian bergegas pergi.
Karena lelah dan mengantuk, Ningsih sampai lupa mengucapkan terima kasih.
Baru berniat menmbuka pintu pagar, seseorang muncul menghampiri. Rusdi, tetangga sebelah yang malam itu tengah bertugas ronda.
"Baru pulang merias, Mbak Ning?" Rusdi menegur sapa.
"Iya, Mas Rusdi."
"Wah, saya tadi sempat kaget. Ada mobil ambulan turun di dekat pagar rumah Mbak Ningsih. Saya pikir ada yang sakit."
"Mobil ambulan?" Ningsih mengernyit alis.
"Iya, Mbak. Mobil yang barusan menurunkan Mbak Ning itu."
Seketika rasa kantuk Ningsih menghilang. Berganti dengan bulu kuduk yang meremang.
"Oh, ya, Mbak. Tadi sore ada kecelakaan hebat di jalan raya arah menuju perumahan baru itu. Satu keluarga tewas. Termasuk calon pengantin wanita yang sedianya mau berangkat berias...."
"Perumahan baru yang masih sedikit penghuninya itu, Mas Rusdi?"
Rusdi mengangguk.
Ningsih bergidik. Ia tidak ingin bertanya apa-apa lagi. Ia hanya ingin segera masuk ke dalam rumah dan meringkuk di balik selimutnya.
Sampai di kamar, tanpa sengaja tangannya menyentuh segepok uang yang diterimanya dari laki-laki setengah umur tadi. Agak gemetar Ningsih mengeluarkannya dari dalam tas. Dan ia menahan napas.
Bukan lembar uang yang dilihatnya, melainkan---setumpuk daun kering yang diikat dengan karet gelang.
***
Malang, 30 Agustus 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H