Tapi pria di hadapannya itu menghadang.
"Tolong saya, Mbak. Saya benar-benar butuh bantuan. Berapapun ongkosnya akan saya bayar."
***
Ningsih terpaksa menuruti permintaan pria tak dikenal itu. Bukan karena tergiur oleh bayarannya, tapi lebih pada rasa iba yang secara tak sadar muncul dari dalam hatinya. Ia berpikir dan membayangkan, andai yang datang minta tolong itu adalah Ayahnya. Duh....
Ningsih menyiapkan segala sesuatunya dengan agak terburu. Untunglah pakaian pengantin belum ia bongkar dari dalam kopor. Juga seperangkat make up  dan asesoris masih berada rapi di dalam tasnya.
Pria setengah umur itu sudah tidak sabar menunggunya. Ia membantu Ningsih membawakan semua peralatan dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
"Kita berangkat sekarang, Mbak Ning. Rumah saya tidak terlalu jauh dari sini. Sekitar lima kilometer."
Ningsih mengangguk. Ia segera naik dan duduk di dalam mobil dengan mata setengah mengatup.
Sepanjang perjalanan Ningsih membatin. Sudah resiko pekerjaanya sebagai perias yang tidak bisa menolak permintaan pengguna jasanya. Meski kadang ia merasa tidak nyaman dengan permintaan yang aneh dan nyleneh. Seperti malam ini, seumur-umur baru kali ini ia meladeni rias pengantin pada tengah malam.
Lima belas menit mereka sampai di area perumahan. Ningsih mengintip dari balik jendela mobil. Rasa-rasanya ia belum pernah melewati area perumahan ini.
"Ini perumahan baru, ya, Pak?" ia bertanya basa-basi. Pria yang duduk di belakang kemudi itu mengangguk.