Usai merapikan meja, gegas aku meninggalkan ruangan dan menyusul langkah Renata menuju kelas 8 A. Di ambang pintu kelas langkahku terhenti. Kulihat seseorang tengah berdiri memunggungiku. Ia menghadap ke arah papan tulis.
"Siapa dia?" aku bergumam pelan.
"Oh, Miss. Liz. Saya lupa mengatakan kepada Anda. Orang itu---Mr. Bogart! Guru wali kelas kami."
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Pekerjaan sekolah yang kubawa pulang baru saja tuntas kurampungkan. Tapi entah mengapa mataku belum juga mengantuk. Kuputuskan tetap merebah di atas tempat tidur meski pikiran masih enggan diajak beristirahat. Ya, alam bawah sadarku kembali mengingat kejadian pagi tadi. Pertemuanku dengan Bogart apakah itu suatu kebetulan?Â
Aku gelisah. Ada yang berbeda dari pertemuan kami tadi pagi. Bogart seolah tidak mengenalku. Apakah ia pangling padaku? Ia bahkan tidak menegurku sama sekali. Ia hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Sedang aku juga tidak sempat berkata apa-apa. Aku terlalu gugup dan bingung.Â
Aku semakin gelisah. Ingatanku tentang mata Bogart yang menyala---dalam halusinasiku, membuatku teringat sesuatu. Dongeng Kakek. Dulu Kakek Basuki pernah berkisah padaku, saat aku masih kecil, tentang seorang penyihir aliran hitam bermata api.Â
Penyihir bermata api?
Sontak aku bangun dari tempat tidur dan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Gegas aku menghubungi Ibu. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya.
Beruntung Ibu belum tidur.Â
"Bu, masih ingat nama penyihir bermata api yang dulu sering didongengkan Kakek?"