Hari masih pagi ketika aku sampai di sekolah. Suasana masih sepi. Belum tampak kesibukan yang berarti. Hanya ada satu dua anak bertugas piket sedang membersihkan ruang kelas.
Aku berjalan menyusuri koridor panjang menuju ruang guru yang bangunannya terletak di area bagian belakang. Pagi ini aku mesti menyelesaikan pekerjaanku, merekap nilai anak-anak untuk isian rapor semester ganjil.
"Liz!" seseorang memanggilku, membuatku menoleh dan menghentikan langkah.
"Bogart?"
"Apa kabar, Liz? Kau mengajar di sini?"
Aku tidak menyahut. Napasku tertahan menatap sosok yang sedang berjalan santai menujuku.
"Kau kelihatan gugup bertemu denganku, Liz. Kenapa?" Bogart tersenyum. Wajahku seketika memerah.
"Bisa kita ngobrol sambil duduk? Aku---tidak bisa meninggalkan pekerjaanku," ujarku seraya mengayun langkah memasuki ruangan.
***
Bogart. Aku jadi teringat saat kegiatan KKN beberapa tahun lalu. Kami bertemu di sebuah desa terpencil di lereng pegunungan. Ketika memperkenalkan diri, pria bertubuh atletis itu mengaku berasal dari sebuah tempat yang sangat jauh. Entah tempat apa dimaksud, ia tidak pernah menyebutkannya secara spesifik. Ia hanya bilang, "aku ini orang yang kebetulan tersesat di bumi."
Kukira apa yang dikatakannya hanya gurauan. Sebab aku tahu, dari gurat wajahnya Bogart itu memiliki sense of humor yang cukup tinggi.
Beberapa minggu berinteraksi di tempat yang sama, sepertinya aku mulai jatuh padanya. Kurasa Bogart mengetahui perasaanku. Meski aku tidak pernah mengatakannya. Bahkan hingga kegiatan KKN usai, perasaanku padanya tak juga kuungkapkan.
Pagi ini aku bertemu lagi dengannya setelah bertahun tak saling bertukar kabar, sungguh itu membuatku sangat gugup.
 "Liz, kau tidak bertanya padaku, mengapa aku berada di sini?" Bogart membuyarkan lamunanku. Aku tersipu. Ya sejak tadi aku membiarkannya duduk melihatku berkutat dengan berkas-berkas dan buku-buku yang berserak.
"Liz," Bogart mengulurkan kedua tangannya. Menatapku serius."Kau masih suka padaku?"Â
Kali ini aku memberanikan diri membalas tatapannya. Mata kami bertemu.
"Aku..." nyaris bibirku mengatakan sesuatu, kalau saja, ya, kalau saja aku tidak melihat perubahan mendadak itu.
Mata Bogart yang semula teduh, tiba-tiba saja berubah menjadi sangat mengerikan.Â
Mata itu menyala---merah seperti darah.
 ***
"Miss. Liz! Anda baik-baik saja?" suara Renata membuatku tersadar. Bocah berkaca mata itu datang ke ruang guru untuk memberitahukan padaku bahwa jam pertama di kelasnya adalah pelajaran Matematika.
Aku berdiri, menghela napas panjang. Huft, ternyata aku masih duduk sendirian di ruang guru ini. Tidak ada siapa-siapa. Dan sepertinya aku baru saja berhalusianasi tentang---sosok Bogart.
Usai merapikan meja, gegas aku meninggalkan ruangan dan menyusul langkah Renata menuju kelas 8 A. Di ambang pintu kelas langkahku terhenti. Kulihat seseorang tengah berdiri memunggungiku. Ia menghadap ke arah papan tulis.
"Siapa dia?" aku bergumam pelan.
"Oh, Miss. Liz. Saya lupa mengatakan kepada Anda. Orang itu---Mr. Bogart! Guru wali kelas kami."
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Pekerjaan sekolah yang kubawa pulang baru saja tuntas kurampungkan. Tapi entah mengapa mataku belum juga mengantuk. Kuputuskan tetap merebah di atas tempat tidur meski pikiran masih enggan diajak beristirahat. Ya, alam bawah sadarku kembali mengingat kejadian pagi tadi. Pertemuanku dengan Bogart apakah itu suatu kebetulan?Â
Aku gelisah. Ada yang berbeda dari pertemuan kami tadi pagi. Bogart seolah tidak mengenalku. Apakah ia pangling padaku? Ia bahkan tidak menegurku sama sekali. Ia hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Sedang aku juga tidak sempat berkata apa-apa. Aku terlalu gugup dan bingung.Â
Aku semakin gelisah. Ingatanku tentang mata Bogart yang menyala---dalam halusinasiku, membuatku teringat sesuatu. Dongeng Kakek. Dulu Kakek Basuki pernah berkisah padaku, saat aku masih kecil, tentang seorang penyihir aliran hitam bermata api.Â
Penyihir bermata api?
Sontak aku bangun dari tempat tidur dan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Gegas aku menghubungi Ibu. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya.
Beruntung Ibu belum tidur.Â
"Bu, masih ingat nama penyihir bermata api yang dulu sering didongengkan Kakek?"
"Maksudmu---Bogart Apolinus?"
Belum sempat aku mengiyakan, ponselku tiba-tiba mati.Â
Bersamaan dengan itu terdengar bunyi bergedebum. Seperti suara benda jatuh.
Aku terpekik.
Bogart!
Pria tinggi besar itu tahu-tahu sudah berdiri di hadapanku. Ia menyeringai. Kedua matanya merah menyala.
***
Malang, 23 Agustus 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI