Perlahan aku turun dari ambin. Berjalan berjinjit menuju dapur. Di ambang pintu dapur aku nyaris terpekik melihat tangan Kang Tarub siap membuka tutup kukusandi atas tungku.
"Jangan lakukan itu, Kang!" cegahku. Tapi terlambat. Kang Tarub sudah berhasil membukanya.
"Astaga, Wulan, apa yang kau lakukan? Kau menanak sebulir padi untuk makanan kita?"
Aku terdiam. Wajahku terasa panas. Aku ingin sekali memarahinya. Tapi kupikir itu tidak ada gunanya lagi.
Takdirku telah ditentukan. Aku harus kembali ke Kahyangan.
Aku menarik selendang dari balik kutangku. Kang Tarub melihatnya.
"Wulan! Â Jangan!" serunya tertahan. Sayang sekali aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku terus saja mengikatkan selendang transparan itu pada pinggangku. Erat-erat.
Tiba-tiba saja tubuhku terasa ringan. Aku terbang!
Aku melayang semakin tinggi. Kakiku bergelantungan dan jemarinya sempat menyentuh ujung kepala Kang Tarub. Tangan kekar suamiku itu sempat menggapai, berusaha menarikku kembali. Tapi daya tarik magnet langit jauh lebih kuat. Aku tersentak, melesat jauh ke angkasa.
Pagi---ketika kudengar suara ribut-ribut keenam Kakakku, aku melingkarkan tubuh, meringkuk bersembunyi di balik selimut.
"Adik bungsu! Tidakkah kau ingin ikut bersama kami turun ke bumi? Kita akan mandi berendam di sebuah telaga bening di tengah hutan."