Tiba- tiba saja aku merindukan suasana Kahyangan. Apa kabar Ibu Bidadari? Juga Kakak-kakakku yang yang berjumlah enam itu---yang terpaksa meninggalkanku sendirian di tepi telaga.
Terngiang kembali suara Ibunda Ratu Bidadari saat ia melarangku pergi.
"Nawangwulan, sebaiknya kau tidak usah ikut Kakak-kakakmu. Kau di sini saja menemani Ibu."
Tapi aku tidak mengindahkan larangan Ibunda Ratu. Aku lebih tertarik dengan cerita heboh Kakak-kakakku mengenai suasana bumi.
"Ada telaga bening yang letaknya tersembunyi di tengah hutan. Kami kerap mengintip telaga itu saat bulan purnama penuh. Indah sekali!" Kakakku yang paling sulung berkata. Aku dan Kakak-kakak yang lain berbinar mendengarnya.
"Apakah telaga itu boleh dipakai mandi, Kak?" tanyaku polos. Kakak sulungku mengangguk.
"Ya, telaga itu biasanya dipakai manusia untuk mandi dan berendam. Kau mau ikut ke sana bersama kami?"
"Tentu! Aku ikut bersama kalian!"
***
Dan sekarang aku menyesalinya. Aku tertinggal oleh mereka sebab selendangku hilang entah ke mana. Kakak-kakakku terbang kembali ke Kahyangan, sementara aku harus menjalani hidupku, turun tahta, dari seorang Bidadari menjadi manusia biasa.
Dengkur halus Nawangsih membuyarkan lamunanku. Juga aroma nasi gosong itu!