Agak terkejut juga aku, ketika tahu-tahu kutemukan kembali selendang itu. Selendang panjang transparan yang terbuat dari juntai pelangi. Yang dijahit sendiri oleh Ibunda Ratu Bidadari dan sudah sekian lama dinyatakan hilang tercuri. Benda itu terselip di antara tumpukan kayu bakar yang teronggok di ujung dapur.
Tentu saja aku merasa gembira. Gembira---segembira-gembiranya. Selendang ini sudah bertahun kucari. Raibnya pula yang membuatku harus rela tinggal di bumi sebagai manusia biasa.
"Sudah matang nasinya, Wul?" suara Kang Tarub dari bilik tengah membuatku terburu menyembunyikan selendang keramat itu di sebalik kutangku.
"Setengah jam lagi, Kang!" aku memasukkan kayu bakar ke dalam mulut tungku. Api yang hampir mati menyala lagi.
"Bisa kau gantikan sebentar menggendong Nawangsih?" Kang Tarub muncul di ambang pintu dapur. Aku gegas berdiri. Kudengar bayi mungil kami yang berusia lima bulan itu menangis.
"Sebentar aku tetekin dia, ya. Akang tolong jaga api tungku agar tidak padam," aku meraih bocah kesayanganku itu dari gendongan Kang Tarub. "Seperti sebelum-sebelumnya, Akang jangan buka tutup kukusan nasi itu," aku berpesan.Â
Kang Tarub mengangguk.
***
Aku membawa bayi mungilku menuju bilik dan menidurkannya di atas ambin bambu beralas tikar yang terbuat dari anyaman daun mendong. Entah mengapa, setiap kali aku merebahkan diri di sana, aku selalu teringat akan kamar tidurku yang mewah di Kahyangan. Kamar tidur yang bagus dan luas, yang bertelekan dipan empuk bertabur bunga-bunga wangi nan segar.
Kalau saja, ah, ya, kalau saja aku tidak kehilangan selendang transparan itu....
Aku meraba kutangku. Agak gemetar tanganku menarik kain tipis semirip selaput buah salak itu. Perlahan kudekatkan benda itu pada ujung hidungku. Aroma wangi masih tercium pada ujung-ujungnya yang berumbai.