"Dia anakku, Bli. Aku merindukannya," Ibu menatap Bapa Made sesaat. Matanya berkaca-kaca.
"Sudahlah, Ni. Kendalikan dirimu. Ajaklah Jansen duduk di kursi itu. Jangan biarkan orang-orang menonton pertunjukkan yang mengharukan ini," Bapa Made menyentuh pundak Ibu.
"Jansen, Papi Pieter ingin bertemu denganmu, Nak," bisik Bapa Made. Aku segera menggandeng lengan Ibu, mengajaknya  masuk ke ruangan untuk menemui Papi.
Papi masih terlihat pucat dan lemah. Matanya terpejam rapat. Aku menghampirinya dan mencium pipinya yang dingin.
"Pencarian kita sudah berakhir, Pi..." bisikku di telinga Papi. Papi berusaha membuka matanya perlahan. Tapi kemudian mengatupkannya kembali.
"Biarkan Papimu istirahat, Nak," Bapa Made menggamit lenganku. Mengajakku menepi. Aku melihat ke arah Ibu. Perempuan itu berdiri mematung, menatap tubuh Papi yang terbujur di atas tempat tidur dengan mata ragu.
"Temui dia, Ni. Dia pasti senang dengan kehadiranmu," Bapa Made memberi tanda agar Ibu mendekat ke arah Papi.
Perlahan Ibu mengayun langkah. Ia berhenti di tepi ranjang Papi. Tangannya yang kurus menyentuh dada Papi.
"Pieter, bagaimana keadaanmu?" suara serak Ibu membangunkan Papi. Mata tua yang terpejam itu perlahan terbuka.
"Ni, benarkah ini dirimu?" Papi berbisik. Ibu mengangguk dan meraih jemari Papi, lalu mengecup punggung jemari itu dengan lembut.
Bapa Made tersenyum ke arahku. Tangannya yang kekar memeluk pundakku. Ia mengajakku pergi meninggalkan ruangan.