Bag.14-Menguak Tabir
Ia tak sempat menghindar. Tarikanku yang keras membuat selendang lusuh yang membebat wajahnya terlepas. Gelung rambutnya yang panjang ikut tergerai.
Ia sama terkejutnya dengan aku. Wajahnya yang selama ini tertutup rapat terbuka sudah. Aku gemetar melihatnya. Seluruh tubuhku terguncang--- hebat.
Dia---Ibuku. Ni Kadek Resti.Â
Sosok itu merentangkan kedua tangannya. Menggapaiku. Berusaha meraihku. Aku masih berdiri termangu bagai patung yang tak tahu harus berbuat apa.
Benarkah penglihatanku? Benarkah perempuan kurus ringkih di hadapanku ini adalah Ibuku? Tiba-tiba saja kepalaku serasa berputar seperti gasing.
"Jansen...mendekatlah, Nak. Peluk Ibu," suaranya yang serak membuatku tersentak. Ya, suara itu...mengapa aku sampai melupakannya?Â
"Ibu...." aku melepas segala ragu dan berhambur ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang selama ini sangat kurindukan.
Lama aku tergugu. Bagaimana mungkin selama ini aku tidak mengenali sosok dalam pelukanku ini? Kami pernah bertemu, bercakap-cakap, bahkan ia telah memberiku sebuah cincin---cincin pertunangannya dengan Papi. Ibu sudah memberi tanda padaku, betapa kami sudah begitu dekat. Mengapa aku terlambat menyadarinya?
"Ni, akhirnya kau buka sendiri penyamaranmu..." suara Bapa Made yang baru tiba membuat kami menoleh.