Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [10]

12 Agustus 2017   07:29 Diperbarui: 22 Agustus 2017   18:16 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah sebelumnya

 Bag.10-JejakTersapu Angin

Kami sepakat kembali ke Rumah Sakit untuk menemui pedagang asongan itu. Aku yakin ia belum pergi dari sana. Kami siap berangkat ketika tiba-tiba Bapa Made muncul di ambang pintu dan menawarkan diri untuk mengantar Papi. Ia melarangku ikut pergi.

"Jansen istirahatlah dulu. Biar Bapa yang menemani Papi Pieter."

Aku menurut.

Kulihat Papi begitu bersemangat menuju taksi yang sudah menunggu. Aku melepas kepergiannya dengan perasaan haru. Dalam hati aku berdoa, semoga Tuhan memberi Papi kesempatan mengumpulkan kembali serpihan cintanya yang berserak.

Aku menghabiskan waktu di dalam kamar. Tak ada kegiatan yang kulakukan kecuali berbaring sambil menonton televisi hingga tertidur.

Papi dan Bapa Made baru kembali ke penginapan setelah hari menjelang petang. Melihat wajah Papi yang murung, aku menduga bahwa usaha yang mereka lakukan tidak berjalan mulus.

"Berjam-jam aku dan Bli Made menunggu di taman Rumah Sakit, Jansen. Temanmu itu ternyata sudah pergi," Papi menghempaskan tubuhnya di atas sofa.

"Apakah Papi sudah menanyakan kepada pasien yang tinggal di sebelah kamarku itu? Sepertinya mereka saling mengenal," aku menatap Papi. Seketika Papi terlonjak seraya menepuk dahinya sendiri, berulang kali.

"Astaga, Jansen! Mengapa tidak terpikirkan olehku akan hal itu. Ah, Bli  Made! Besok kita kembali lagi ke Rumah Sakit!" Wajah Papi berubah sumringah. Bapa Made yang berdiri di sampingnya hanya mengangguk.

"Besok aku ikut bersama kalian!" ujarku riang. Aku senang melihat Papi bersemangat kembali.

Perlahan tanganku masuk ke dalam saku celana dan menyentuh sesuatu.

Ah, benda mungil ini, ternyata mampu mencairkan perasaan Papi yang selama ini membeku.

***

Mentari mengintip ceria dari ufuk timur. Bau harum bunga kamboja menyeruak, merebak menusuk hidung. Pagi ini Bali kembali menyapaku.

Bapa Made sudah datang menjemput. Usai sarapan, masih menggunakan taksi yang sama kami bergegas meluncur menuju Rumah Sakit. Perjalanan hanya memakan waktu setengah jam. Masih terlalu pagi, sepanjang jalan masih sepi. Belum terjebak oleh macet.

Kami melewati koridor panjang Rumah Sakit tanpa suara. Papi terlihat paling antusias. Ia sepertinya sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan pasien aneh itu. Pasien yang diduga mengetahui keberadaan Ibu.

Tapi sayang, kedatangan kami sia-sia. Kamar yang kami datangi ternyata sudah kosong.  

"Ada yang bisa kami bantu?" seorang perawat laki-laki menghampiri kami.

"Apakah pasien yang dirawat di kamar ini sudah pulang?" tanya Bapa Made. Perawat itu terdiam sejenak. Seperti mengingat-ingat.

"Benar, penghuninya sudah pulang sejak kemarin sore," perawat membenarkan. Seketika airmuka Papi berubah murung.

"Bisakah kami minta alamat pasien itu?" pinta Bapa Made. Kelihatan sekali ia tak ingin melihat Papi kecewa.

"Oh, tentu. Anda bisa menanyakannya kepada petugas loket di sana." Perawat menunjuk ke suatu arah. Bapa Made mengangguk. Usai mengucap terima kasih, ia memberi tanda kepadaku dan Papi untuk bergegas mengikutinya.

Ketika kami datang, petugas loket itu sudah terlihat sibuk.

"Bisakah saya minta alamat pasien dari ruang enam belas yang sudah pulang?" Papi bertanya mendahului Bapa Made. Petugas loket menjawab dengan anggukan. Kemudian memeriksa buku tebal di hadapannya.

"Pasien bernama I Nyoman Sukrawan?" petugas loket menegaskan sembari menunjukkan foto yang tertempel pada buku tebal itu. Aku mengangguk.

Papi mencatat alamat pasien yang sedang kami buru pada secarik kertas.

Pencarian pun berlanjut kembali.

***

Taksi meluncur di daerah Denpasar bagian utara. Bapa Made mengamati gang demi gang dengan teliti sesuai dengan alamat yang sedari tadi tak lepas dari tangannya.

Saat melewati gapura kecil, Bapa Made minta taksi untuk menepi. Laki-laki itu turun untuk bertanya kepada perempuan yang kebetulan sedang berdiri di pinggir jalan.

"Lurus saja mengikuti gang ini. Bangunan paling ujung itulah rumah kontrakan I Nyoman Sukrawan," ujar perempuan itu.

Bertiga kami berjalan menyusuri gang yang tidak seberapa lebar itu. Sekitar lima puluh langkah rumah yang kami cari sudah terlihat. Rumah itu memiliki halaman yang cukup luas. Dikelilingi oleh pepohonan yang rindang.

Bapa Made mengetuk pintu yang masih tertutup menggunakan punggung jarinya.

Terdengar suara langkah, seorang perempuan berusia lanjut membukakan pintu.

"Permisi, apakah ini rumah I Nyoman Sukrawan?" Bapa Made bertanya tidak sabar.

"Nyoman Sukrawan tidak tinggal di sini lagi. Sejak keluar masuk Rumah Sakit laki-laki itu pulang ke rumah orang tuanya," perempuan tua itu menjelaskan.

"Ibu tahu di mana alamatnya?" Papi ikut menyeruak maju.

Perempuan tua itu tidak menyahut. Ia mendekatkan wajahnya yang keriput, menatap Papi lekat-lekat, seolah ingin memastikan sesuatu.

Lalu dengan tegas---ia menggeleng.

Bersambung.....

***

Malang, 12 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun