Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [8]

10 Agustus 2017   06:13 Diperbarui: 22 Agustus 2017   18:07 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah Sebelumnya | kompasiana.com/novel-jejak-sang-penari-7

Bag. 8-Rahasia Kecil

Papi akhirnya sampai juga di Bali. Ia langsung menemuiku di Rumah Sakit. Kami berpelukan erat, sangat erat. Saling melepas rindu.

Aku menyusupkan kepalaku berlama-lama di dada tuanya yang hangat.

"Jansen, kau akan segera membaik, Nak," bisiknya seraya mengelus lembut rambut pirangku yang tipis. "Papi akan mengusahakan kesembuhanmu. Papi janji."

Papi melepas pelukannya perlahan. Dipandanginya wajahku berlama-lama. Seolah ingin menumpahkan segala perasaan yang selama ini tak bisa ia keluarkan.

"Maak  je  geen  zorgen,  Pi.  Ik  ben  in  orde..."

Aku menenangkan Papi. Aku kasihan melihatnya. Wajah Papi tampak jauh lebih tua dari sebelumnya.

"Ik  hou  van  je,  Zoon..." Papi akhirnya mengeluarkan perasaannya.

"Ik  heb  ook,  Pi," aku membalas ucapan sayang itu dengan mata berkaca-kaca.

"Dokter Suastika sudah menunggu di ruangannya, Tuan Pieter," suster datang membawa pesan untuk Papi.

"Pieter, pergilah. Biar aku di sini menemani Jansen," Bapa Made mendekati kami. Tangannya yang kekar menepuk punggung Papi perlahan. Papi mengangguk dan berjalan mengikuti suster menuju ruang dokter yang letaknya tak seberapa jauh dari kamarku.

Aku menatap kepergian lelaki tua yang sangat kukasihi itu dari tepi ranjangku.

"Pieter seorang ayah yang baik, Jansen. Kau beruntung memilikinya," Bapa Made berkata pelan.

"Ya, Bapa. Papi memang sangat baik. Terlalu baik malah."

"Aku teringat masa-masa perkenalan kami, Jansen.  Juga saat--- Pieter jatuh cinta pada Ni Kadek Resti, Ibumu," Bapa Made menatapku dengan senyum samar yang disembunyikan.

"Ya, Bapa. Papi sudah bercerita banyak mengenai Ibu," sahutku. Bapa Made mengernyitkan alis.

"Sudah menceritakan semuanya, Nak?" ia menegaskan. Nada suaranya ragu. Aku mengangguk.

"Juga tentang laki-laki bernama---Julian itu?"

Sekali lagi aku mengangguk.

"Kukira tidak semuanya, Nak. Pieter...pasti belum menceritakan rahasia kecil itu," laki-laki paruh baya itu terbatuk sejenak. "Ah, sudahlah, lupakan kata-kataku tadi," Bapa Made berdiri karena melihat suster memasuki kamarku kembali.

"Waktunya makan siang!" suster meletakkan nampan di atas meja. Setelah mengangguk ke arah kami, suster itu pergi meninggalkan ruangan.

Pintu kembali berderit. Sosok Papi dan Dokter Suastika muncul.

"Bagaimana selera makanmu hari ini?" dokter berkacamata itu mendekat seraya tersenyum.

"Aku pasien yang penurut, Dokter. Aku pasti akan menghabiskan makan siangku supaya bisa segera meninggalkan Rumah Sakit," aku membalas senyum dokter dengan tawa kecil.

"Kau harus menunda dulu keinginanmu itu, Nak," Dokter Suastika berkata serius.

"Maksud Dokter?"

"Kau belum kuizinkan pulang."

"Apakah penyakitku sedemikian parah, Dokter?" aku menatap dokter berkacamata itu---dalam-dalam.

Dokter tidak menyahut. Terdiam. Dan itu memaksaku berusaha mencari jawaban sendiri melalui perubahan air mukanya.

Tapi wajah Dokter Suastika sama sekali tidak berubah. Tetap teduh dan tenang.

"Terima kasih, Dokter. Anda sudah berhasil menyembunyikan rahasia kecil untukku dengan baik," aku tersenyum kecut. Rasa kesal dan kecewa memenuhi rongga dadaku.

"Oh, Nak, jangan berprasangka dulu. Tidak ada yang kami rahasiakan darimu," Papi berusaha menenangkanku.

"Lalu apa namanya jika kalian tidak mengatakan apapun tentang penyakitku? Apakah aku harus menduga-duga seperti pasien di kamar sebelah itu?" Aku teringat laki-laki yang pemarah itu.

"Pasien itu mengalami depresi berat, Nak. Setiap bertemu orang baru, dia akan berkeluh kesah dan mengatakan dirinya terkena virus HIV," Dokter Suastika menjelaskan kepadaku.

"Itu karena Dokter tidak berterus terang tentang penyakitnya!" aku memberi pembelaan.

"Kami memiliki kode etik. Jika apa yang kami sampaikan bisa berakibat buruk bagi kondisi pasien, maka kami memutuskan untuk tidak menyampaikan apa-apa," tegas Dokter Suastika.

"Dokter, tolong... katakan apa penyakitku. Aku tidak ingin ada rahasia di antara kita." Wajahku memerah.

Dokter Suastika tersenyum. Tangannya yang lembut terulur menyentuh pundakku. 

"Tentu, Zoon. Kami pasti akan mengatakannya padamu. Tapi---tidak sekarang."

Bersambung....

***

Malang, 10 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun