Pintu kembali berderit. Sosok Papi dan Dokter Suastika muncul.
"Bagaimana selera makanmu hari ini?" dokter berkacamata itu mendekat seraya tersenyum.
"Aku pasien yang penurut, Dokter. Aku pasti akan menghabiskan makan siangku supaya bisa segera meninggalkan Rumah Sakit," aku membalas senyum dokter dengan tawa kecil.
"Kau harus menunda dulu keinginanmu itu, Nak," Dokter Suastika berkata serius.
"Maksud Dokter?"
"Kau belum kuizinkan pulang."
"Apakah penyakitku sedemikian parah, Dokter?" aku menatap dokter berkacamata itu---dalam-dalam.
Dokter tidak menyahut. Terdiam. Dan itu memaksaku berusaha mencari jawaban sendiri melalui perubahan air mukanya.
Tapi wajah Dokter Suastika sama sekali tidak berubah. Tetap teduh dan tenang.
"Terima kasih, Dokter. Anda sudah berhasil menyembunyikan rahasia kecil untukku dengan baik," aku tersenyum kecut. Rasa kesal dan kecewa memenuhi rongga dadaku.
"Oh, Nak, jangan berprasangka dulu. Tidak ada yang kami rahasiakan darimu," Papi berusaha menenangkanku.