"Pieter, pergilah. Biar aku di sini menemani Jansen," Bapa Made mendekati kami. Tangannya yang kekar menepuk punggung Papi perlahan. Papi mengangguk dan berjalan mengikuti suster menuju ruang dokter yang letaknya tak seberapa jauh dari kamarku.
Aku menatap kepergian lelaki tua yang sangat kukasihi itu dari tepi ranjangku.
"Pieter seorang ayah yang baik, Jansen. Kau beruntung memilikinya," Bapa Made berkata pelan.
"Ya, Bapa. Papi memang sangat baik. Terlalu baik malah."
"Aku teringat masa-masa perkenalan kami, Jansen. Â Juga saat--- Pieter jatuh cinta pada Ni Kadek Resti, Ibumu," Bapa Made menatapku dengan senyum samar yang disembunyikan.
"Ya, Bapa. Papi sudah bercerita banyak mengenai Ibu," sahutku. Bapa Made mengernyitkan alis.
"Sudah menceritakan semuanya, Nak?" ia menegaskan. Nada suaranya ragu. Aku mengangguk.
"Juga tentang laki-laki bernama---Julian itu?"
Sekali lagi aku mengangguk.
"Kukira tidak semuanya, Nak. Pieter...pasti belum menceritakan rahasia kecil itu," laki-laki paruh baya itu terbatuk sejenak. "Ah, sudahlah, lupakan kata-kataku tadi," Bapa Made berdiri karena melihat suster memasuki kamarku kembali.
"Waktunya makan siang!" suster meletakkan nampan di atas meja. Setelah mengangguk ke arah kami, suster itu pergi meninggalkan ruangan.