"Lokasi balai pertunjukan lumayan jauh, Jansen. Jadi masih banyak waktu untuk mengobrol."
Aku mengangguk lagi.
"Oh, ya, apa yang kau lakukan sepeninggalku tadi malam, Nak? Apakah langsung tidur?"
"Tidak Bapa. Semalam aku sempatkan berjalan-jalan ke taman kota, dan..." aku tidak melanjutkan kalimatku. Tiba-tiba saja ingatanku tertuju pada sosok pedagang asongan itu.
Tanpa sadar tanganku merogoh saku celana. Oh, cincin pemberian orang itu, terbawa olehku!
"Ada apa Jansen? Kau mengalami sesuatu?" dari pantulan kaca spion Bapa Made melihat perubahan wajahku.
"Hanya bertemu pedagang asongan, Bapa. Dan ia sempat memberi ini sebagai tanda kenang-kenangan," aku menunjukkan cincin berukir itu kepada Bapa Made.
Sejenak kening lelaki itu berkerut.
"Jadi kau bertemu dengan orang itu juga. Maksudku pedagang asongan yang membebat wajahnya dengan kain...."
"Iya, benar! Bagaimana Bapa bisa tahu?"
"Semua pengunjung taman tahu, Nak. Orang macam apa dia."