Sepeninggal Mbak Mira dan Ibu aku tercenung. Melirik sekilas wajahku melalui pantulan cermin.
Wajah itu, duh, kenapa tampak begitu lesu dan kusam? Mendadak aku mulai berubah pikiran. Kuraih bedak yang tergeletak di atas meja. Kubuka tutupnya, lalu kusapukan sedikit isinya pada pipiku yang chubby.
Sepertinya olesan bedakku terlalu ringan. Kurang mantap. Kuputuskan menambahkannya lagi.
Aku tersenyum. Sekarang wajahku sudah terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Mbak Mira benar. Aku perlu tampil cantik di hari istimewa ini. Kulanjut memoles bibirku dengan lipstik. Tipis-tipis saja. Ah, ternyata masih terlihat pucat. Kutambahkan satu dua kali polesan lagi. Nah, Yang ini baru oke.
Aku tersenyum memagut wajah sendiri di depan cermin. Kukira kini aku siap menyambut tamu yang ditunggu-tunggu.
Di ambang pintu yang berbatasan dengan ruang tamu, Â langkahku terhenti. Mataku nanar. Pemandangan yang kulihat sungguh membuatku sangat marah.
Mbak Mira duduk berdampingan dengan Ronny. Keduanya tengah melakukan prosesi tukar cincin disaksikan oleh beberapa tamu yang datang.
"Astaga Ajeng, dandanan macam apa ini?" Ibu terburu menghampiriku. Ia membimbingku masuk kembali ke dalam kamar.
Ibu mendudukkanku di atas tempat tidur.
"Sayang, kau melakukannya lagi. Berimajinasi dan bermain kosmetik milik kakakmu," Ibu meraih tisu. Hati-hati ia menyeka bibirku yang belepotan lipstik  berwarna merah darah.
Aku terdiam. Melirik wajahku yang terpantul di dalam cermin.