Beberapa kali Ibu wira-wiri masuk ke dalam kamarku, memastikan apakah aku sudah siap.
"Belum ganti baju juga, Jeng?" Ibu menegurku demi melihat aku tak juga beranjak dari dudukku.
"Bu, apa aku tidak akan terlihat aneh dengan gaun seperti itu?" protesku lirih. Ibu menaikkan kedua alis.
"Aneh bagaimana? Kau akan terlihat cantik begitu mengenakannya. Bahkan kukira, kau akan lebih cantik dari Mbakyu-mu itu. "
Aku tersenyum kecut. Aku tahu Ibu hanya menghiburku. Mana mungkin aku mengalahkan kecantikan Mbak Mira kakakku? Mbak Mira memiliki mata yang bagus. Hidungnya bangir. Pipinya merah ranum bak buah plum. Dan yang sangat menonjol pada diri kakakku itu adalah, tutur katanya lemah lembut serta perilakunya sangat santun.Â
Berbeda jauh dengan aku. Kedua mataku sipit. Hidungku jauh dari kata bangir. Polah tingkahku lebih mirip anak laki-laki, Â tomboy. Â Pakaian sehari-hariku adalah celana pendek sebatas lutut dan T-shirt ala pemain basket. Boleh dibilang aku tidak memiliki kelembutan yang mencerminkan bahwa aku ini sebenarnya seorang anak perempuan.
Jika pagi ini aku diharuskan mengenakan gaun yang---duh, sungguh, melihatnya saja membuat perutku terasa mual.
"Ayolah Ajeng, segera kenakan ..." kembali Ibu membujukku. Aku menggeleng. Ibu sepertinya mulai kehilangan kesabaran. Diraihnya gaun yang masih tergeletak di atas tempat tidur, lalu tangannya bergerak cepat. Aku tak berkutik. Beberapa menit kemudian aku sudah berubah tampilan menjadi Ajeng yang---benar-benar perempuan.
Aku berdiri di depan cermin dengan wajah memberengut.
"Duh, adikku sayang...cantik sekali dirimu!" itu suara Mbak Mira. Ia ikut bergabung bersama Ibu.
"Kukira kau membutuhkan sedikit polesan bedak dan lipstik agar wajahmu tidak terlihat pucat," Mbak Mira tersenyum lembut ke arahku. Hah? Bedak dan lipstik? Mendengar namanya saja telingaku terasa gatal. Apa lagi harus memakainya. Oh, tidak! Kedua benda itu pasti akan membuatku tampil lebih aneh lagi. Seperti badut.