Bing, ia sibuk merentang kain satin berwarna gading di atas meja. Lalu dengan cekatan tangannya mulai menggunting kain satin itu mengikuti pola yang sudah digambarnya. Ia terlihat begitu asyik.
Sementara aku duduk di hadapannya, mengawasinya dengan penuh takjub.
“Bing, kau seharusnya tidak terlalu memanjakanku,” ujarku dengan wajah merona, semirip buah plum yang ranum.
“Hmm...” Bing bergumam tanpa menghentikan gerakan tangannya. Hanya kepalanya saja yang dimiringkan sedikit.
“Bing, aku tidak pantas menerima perlakuanmu yang...” aku tidak melanjutkan kalimatku karena tahu-tahu Bing mendaratkan satu kecupan pada keningku.
“Diamlah, Honey. Aku tidak suka mendengar kata-kata seperti itu lagi. Dan biarkan aku menyelesaikan gaun untukmu ini tanpa gangguan keluhan apa pun.”
Aku menurut. Kubiarkan Bing meneruskan pekerjaannya, membuatkanku gaun indah seperti milik Cinderella.
***
Siang yang terik sama sekali tidak berpengaruh bagi Bing. Ia tetap terlihat sibuk memasukkan kayu bakar ke dalam perapian dan menjaga nyalanya agar tetap stabil. Butiran peluh berjatuhan membasahi wajahnya yang tirus. Sesekali ia menyeka wajahnya yang mengilap dengan punggung tangannya.
Tentang halnya aku, tetap duduk manis di atas kursi, mengawasinya. Tak dapat kupungkiri, melihat Bing dalam keadaan demikian, bermandi peluh, membuat rasa kagumku padanya kian bertambah. Ia terlihat begitu tampan dan natural.
Bing berjalan bolak-balik dari perapian menuju meja. Di tangannya tergenggam sebatang besi yang ujungnya digunakan untuk memutar sesuatu. Sesuatu yang bening dan panas. Oh, Bing, kiranya ia tengah membuatkan aku sepasang sepatu kaca!
“Bing, aku bukan Cinderella,” desahku lirih, takut terdengar olehnya. Ia bisa memarahiku lagi jika mendengar aku terus saja mengeluhkan setiap bentuk perhatiannya.
Bing telah berhasil menyelesaikan salah satu sepatu kaca dan memajangnya di atas meja. Mataku berbinar melihat hasil karya Bing. Sepatu kaca itu sangat indah. Berkilauan cemerlang saat tersentuh sinar matahari.
Bing baru menghentikan pekerjaannya ketika sisi sepatu yang lain berhasil diselesaikannya.
Di luar senja mulai jatuh. Bing segera mematikan perapian dan berjalan menuju belakang rumah. Tangannya yang kekar menarik timba air. Lalu mengguyur tubuhnya yang kekar begitu saja tanpa melepaskan pakaian.
Lagi-lagi aku mengawasinya dari jauh dan mengaguminya. Ah, Bing, dalam keadaan kuyup ia terlihat begitu menawan.
Sebentar kemudian tak kulihat lagi dia.
Kukira Bing, suamiku itu, sudah masuk kamar dan sedang menukar pakaiannya yang basah di sana.
***
Bing muncul sembari tersenyum manis. Ia mengenakan tuxedo, menyisir rambutnya sedemikian rupa, selayak seorang pangeran yang hendak pergi ke pesta dalam hikayat kisah negeri dongeng.
“Bing?” aku tertegun. Ia mengulurkan tangannya dan mencium lembut punggung tanganku.
“Honey, kenakan gaun dan sepatu kaca buatanku, segera,” ia berbisik di telingaku. Aku masih diam terpaku. Bing melepaskan tanganku dan berjalan menuju almari tua yang terletak di pojok ruangan. Ia menyentuh sesuatu di sana, sebuah piringan hitam antik milik kami.
Aku baru saja rampung mengenakan gaun warna gading itu ketika alunan musik lembut dari piringan hitam mulai terdengar. Bing menyongsongku dengan wajah sumringah.
“Ayolah sayang, kenakan sepatu kaca itu.”
Ragu aku menatap sepasang sepatu bening yang masih terpajang rapi di atas meja.
“Bergegaslah cintaku...” Bing menyentuh pundakku. Musik lembut masih mengalun. Bing berjalan menuju meja. Tangannya meraih sepatu kaca dan membawanya ke hadapanku. Kemudian dengan hati-hati ia membantuku mengenakannya.
Kini kedua kakiku telah terbungkus sepatu kaca yang indah. Sesaat aku melambung, merasa bagai seorang putri---benar-benar seorang putri yang siap berdansa dengan pangeran pujaannya.
Kakiku mulai melangkah, hanya satu langkah saja. Keraguan masih merasuki hatiku.
Bing memeluk erat pinggangku. "Ayolah, sayang, kita berdansa," ujarnya seraya membimbingku.
Musik kian mendayu-dayu. Aku mencoba mengayun langkah kedua.
Tapi sesuatu terjadi.
Kreteeek....pyaarrrr...sepatu kaca yang kukenakan pecah berkeping membentuk kristal-kristal halus dan berserak ke lantai.
“Bing!” aku menjerit panik. Tanganku mencengkeram lengannya kuat-kuat. Wajahku pucat pasi.
Bing segera menolongku. Mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas kursi.
Sembari mengelus kedua betisku yang gemetar Bing tersenyum. Matanya yang biru menatapku lembut.
"Honey, aku lupa menyarankan ini kepadamu. Seharusnya sebelum memakai sepatu kaca itu, kau mesti berdiet terlebih dulu untuk mengurangi berat badanmu yang---super berlebihan itu.”
***
Malang, 03 Juni 2017
Lilik Fatimah Azzahra
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H