“Bing, aku bukan Cinderella,” desahku lirih, takut terdengar olehnya. Ia bisa memarahiku lagi jika mendengar aku terus saja mengeluhkan setiap bentuk perhatiannya.
Bing telah berhasil menyelesaikan salah satu sepatu kaca dan memajangnya di atas meja. Mataku berbinar melihat hasil karya Bing. Sepatu kaca itu sangat indah. Berkilauan cemerlang saat tersentuh sinar matahari.
Bing baru menghentikan pekerjaannya ketika sisi sepatu yang lain berhasil diselesaikannya.
Di luar senja mulai jatuh. Bing segera mematikan perapian dan berjalan menuju belakang rumah. Tangannya yang kekar menarik timba air. Lalu mengguyur tubuhnya yang kekar begitu saja tanpa melepaskan pakaian.
Lagi-lagi aku mengawasinya dari jauh dan mengaguminya. Ah, Bing, dalam keadaan kuyup ia terlihat begitu menawan.
Sebentar kemudian tak kulihat lagi dia.
Kukira Bing, suamiku itu, sudah masuk kamar dan sedang menukar pakaiannya yang basah di sana.
***
Bing muncul sembari tersenyum manis. Ia mengenakan tuxedo, menyisir rambutnya sedemikian rupa, selayak seorang pangeran yang hendak pergi ke pesta dalam hikayat kisah negeri dongeng.
“Bing?” aku tertegun. Ia mengulurkan tangannya dan mencium lembut punggung tanganku.
“Honey, kenakan gaun dan sepatu kaca buatanku, segera,” ia berbisik di telingaku. Aku masih diam terpaku. Bing melepaskan tanganku dan berjalan menuju almari tua yang terletak di pojok ruangan. Ia menyentuh sesuatu di sana, sebuah piringan hitam antik milik kami.