Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Drama | Kutandai Kau!

28 Mei 2017   11:03 Diperbarui: 28 Mei 2017   11:11 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.shutterstock.com

Babak 1

Perempuan itu mucul dengan wajah dingin di atas panggung. Gaun warna merah marun yang membalut tubuh rampingnya menyala terkena efek lampu  temaram. Ia berjalan menuju kursi berukir yang dipajang tepat di tengah-tengah arena. Dengan gerakan anggun perempuan itu duduk di sana.

Seorang pria mengenakan tuxedo berdiri tak jauh darinya.

Perempuan itu mengangkat dagunya sedikit. Alis matanya yang dilukis dengan bentuk mencuat bergerak-gerak. Sedang bibirnya yang terpoles gincu warna merah---senada gaun yang dikenakannya, mengerucut ranum.

Pria bertuxedo mengeluarkan gulungan kertas dari balik lengan kemeja panjangnya. Ia membuka gulungan itu dan mulai membaca kalimat demi kalimat yang tertera di dalamnya.

“Kutandai kau!” pria itu berseru lantang. Membuat seluruh penonton memperhatikan dan mengarahkan pandang ke arah panggung dengan mata tak berkedip.

“Kutandai kau!” pria itu mengulang. Perempuan bergaun merah itu tersenyum sedikit. Lampu panggung menyorot wajahnya yang cantik. Penonton terkesima.

Sesaat perempuan itu mengangkat tangan kanannya dengan gerakan teratur, memberi tanda pada pria bertuxedo itu agar melanjutkan tugasnya.

“Pada ujung hidungmu yang bangir, akan kusemat cincin sebagai tanda bahwa aku mencintaimu!”

“Hentikan!” perempuan berbaju merah marun itu berdiri.

“Dia bukan pria yang kuinginkan. Dia terlalu sombong dan angkuh. Tolong kembalikan surat pengakuan cinta itu. Dan katakan padanya, aku menolak tegas pinangannya!”  Suara perempuan itu menggema merdu.

Penonton bertepuk tangan riuh.

Babak 2

Seorang pria bertubuh tinggi besar, berjalan gelisah mengitari panggung  yang sangat lapang. Pandang matanya nanar. Di belakangnya mengikuti dua pengawal dengan wajah tertunduk.

“Kutandai dia! Kali ini tidak dengan cincin, melainkan...dengan sebilah pedang  yang akan kukalungkan pada leher jenjangnya.” Pria tinggi besar itu menggeram. Dua pengawal di belakangnya mundur teratur.

Tepat di tengah-tengah panggung, mendadak pria bertubuh tinggi besar itu berbalik badan. Entah sejak kapan ia menyembunyikannya, tahu-tahu pada tangan kanannya teracung sebilah pedang bermata dua.

“Untuk menguji tajam tidaknya pedang ini, bolehkah aku meminjam leher salah satu dari kalian?”

Penonton terpekik menahan napas.

Babak 3

Pria bertubuh tinggi dan perempuan bergaun merah marun berdiri berhadapan. Mata mereka beradu tajam. Saling menusuk.

“Kutandai kau!” pria bertubuh tinggi membuka suara. Lantang. Tangan kekarnya bergerak, mengeluarkan sesuatu. Begitu tiba-tiba. Hingga perempuan bergaun merah marun itu tidak sempat menghindar. Tahu-tahu ia telah berada dalam cengkeraman pria bertubuh tinggi itu.

“Katakan selamat tinggal kepada seluruh penonton  yang berada di dalam gedung pertunjukan ini, Nyonya besar!”  suara pria itu menggema memenuhi ruangan.

Lalu, musik dimainkan dengan tempo yang sangat cepat. Lelaki bertubuh tinggi itu melepas tubuh sang perempuan dan berlari-lari seraya mengayun-ayunkan pedangnya. Sementara sang perempuan menari-nari, meliukkan badan berusaha menghindari hunusan pedang yang berkali sengaja diarahkan pada lehernya yang jenjang.

Penonton menatap keduanya tak berkedip.

Mendekati coda lagu, perempuan bergaun merah marun itu tersandung. Ia nyaris terjatuh. Dan sang pria menyongsongnya dengan pedang  masih tergenggam erat di tangan.

Lalu, crash!

Efek bunyi membuat pekik penonton tertahan. Lalu berganti dengan tepuk tangan riuh begitu lampu ruangan dinyalakan.

Pertunjukan telah usai dengan ending tragis. Pementasan drama yang mengangkat kisah tentang terbunuhnya seorang primadona panggung akibat cinta tak berbalas.

Layar lebar perlahan mulai diturunkan. Penonton satu persatu berdiri meninggalkan ruang gedung pertunjukkan. Wajah-wajah mereka tampak puas karena disuguhi pementasan drama yang terlihat sangat hidup.

Di belakang layar, sang perempuan bergaun merah marun dengan tangan bergetar menyentuh darah yang mengucur membasahi lehernya. Terasa lengket dan berbau anyir.

“I-ni bukan darah buatan, Steve! Apa yang telah kau lakukan?” perempuan itu mengerang. Tiba-tiba saja rasa nyeri menghujam di sekitar lehernya, membuat seluruh urat nadinya meregang.

Perempuan itu pun roboh ke lantai. Ia sekarat.

Pria bertubuh tinggi berdehem. Menepis ujung kemeja yang dikenakannya sembari bergumam, ”Drama yang kau mainkan kali ini benar-benar telah berakhir, Marla. Kukira setelah ini, dengan kematianmu hatiku akan kembali tenang. Sebagai suami sekaligus pasangan mainmu di atas panggung, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak cemburu. Banyak pria mengagumi dan jatuh cinta padamu. Termasuk dia!” mendadak pria itu berbalik badan dan menudingkan telunjuk tangannya ke arah pria bertuxedo---yang sejak beberapa menit lalu berdiri gemetaran.

***

Malang, 28 Mei 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun